Senin, 02 Desember 2013

Tulisan 14_Bahasa Indonesia 2

Ini Alasan Indofood Gencar Akuisisi Perusahaan Lain

Jumat, 29 November 2013 | 13:47 WIB
JAKARTA, KOMPAS.com — Tahun ini merupakan tahun berbelanja bagi Grup Salim. Salah satu afiliasinya, yakni PT Indofood CBP Tbk (ICBP), beberapa kali melakukan aksi korporasi sepanjang tahun ini.

Pada Mei 2013, ICBP menandatangani pembentukan perusahaan patungan (joint venture) dengan Tsukishima Food Industry Co Ltd untuk membentuk PT Indofood Tsukishima Sukses Makmur di Indonesia. ICBP menjadi pemegang saham pengendali, menguasai 65 persen saham perusahaan pembuat margarin asal Jepang ini.

Lalu, pada September 2013, ICBP juga menyelesaikan transaksi atas semua saham PT Pepsi-Cola Indobeverages. Transaksi yang dilakukan dengan klien ICBP, Asahi, menelan biaya sekitar 30 juta dollar AS.

Masih pada bulan yang sama, ICBP juga mendirikan perusahaan bernama PT Indofood Mitra Bahari Makmur (IMBM). Perusahaan yang 99 persen sahamnya dimiliki oleh ICBP ini bergerak di industri pengolahan makanan berbahan baku ikan.

Oktober lalu, ICBP juga mengakuisisi usaha Grup Tirta Bahagia yang bergerak pada industri air minum dalam kemasan (AMDK) dengan merek dagang Club senilai Rp 2,2 triliun. Tentunya, manajemen memiliki alasan tersendiri mengapa ICBP menjadi sangat rajin shopping.

Terakhir, ICBP membentuk perusahaan patungan dengan perusahaan Jepang, JS Comsa Corporation. Perusahaan itu memproduksi makanan olahan tepung seperti adonan pizza beku dan sebagainya.

"Itu karena kami ingin menyeimbangkan portofolio kami, 50-50 antara pendapatan dari mi instan dan produk lain," ujar Weriyanti Setiawan, Direktur ICBP.

Memang, mi instan buatan ICBP sudah dikenal masyarakat Indonesia selama puluhan tahun. Jadi, jika digambarkan dalam sebuah kurva produksi, maka mi instan buatan ICBP sudah berada dalam fase tertinggi, yaitu fase ketiga atau fase dewasa.

Pada fase itu, produk yang dijual sudah tidak memungkinkan lagi untuk tumbuh pesat. Jika sudah berada dalam fase ketiga, maka pilihannya tinggal dua, yaitu produk yang bersangkutan bakal turun karena dilupakan masyarakat, atau tetap dijaga ritmenya dengan inovasi dan pengiklanan sehingga konsumen tidak melupakan produk itu.

Untuk hal ini, manajemen memilih opsi yang kedua. Caranya, tentu dengan pengiklanan dan inovasi. Oleh sebab itu, saat ini merek Indomie yang ditemukan di warung kelontong atau minimarket sekalipun rasanya bukan lagi hanya rasa ayam bawang, melainkan banyak citarasa kuliner Nusantara, bahkan oriental. Bahkan, ada juga inovasi yang dilakukan dengan membuat mi yang lebih kenyal dan keriting.

Ketika sudah berada dalam fase ketiga dan sebelum inovasi itu dilakukan, penjualan mi instan ICBP tidak bisa bergerak banyak, hanya tumbuh sekitar 2 persen per tahun. Namun semenjak inovasi itu dibuat, mi instan ICBP bisa tumbuh sekitar 6 persen. "Tidak terlalu pesat, tapi paling tidak masih lebih baik," tambah Weriyanti.

Oleh karena itu, dengan semua aksi korporasi yang dilakukan, manajemen berharap penyeimbangan portofolio pendapatannya bisa segera terealisasi dalam waktu yang terlalu lama. Catatan saja, hingga kuartal III tahun ini, ICBP membukukan pendapatan Rp 18,88 triliun.

Dari angka itu, sebesar 68 persen berasal dari penjualan mi instan. Sisanya diperoleh dari penjualan divisi dairy, makanan ringan, penyedap makanan, serta nutrisi dan makanan khusus yang masing-masing memberikan kontribusi sekitar 19 persen, 7 persen, 4 persen, dan 2 persen.

Sebenarnya, Weriyanti juga mengakui, aksi korporasi yang dilakukan belakangan ini agak terlambat. Namun mau bagaimana lagi, aksi korporasi itu memang harus melewati proses yang panjang meski manajemen telah menyiapkan cetak biru semua aksi korporasinya itu sejak 2010 silam.

"Yang jelas kami belum ketinggalan momentum pertumbuhan ekonomi Indonesia yang pesat untuk 30 tahun mendatang," pungkas Weriyanti. (Dityasa H Forddanta)

Sumber : Kontan
Editor : Bambang Priyo Jatmiko


Opini:

Menurut alasan “Jadi, jika digambarkan dalam sebuah kurva produksi, maka mi instan buatan ICBP sudah berada dalam fase tertinggi, yaitu fase ketiga atau fase dewasa. Pada fase ini, produk yang dijual sudah tidak memungkinkan lagi untuk tumbuh pesat. Jika sudah berada dalam fase ketiga, maka pilihannya tinggal dua, yaitu produk yang bersangkutan bakal turun karena dilupakan masyarakat, atau tetap dijaga ritmenya dengan inovasi dan pengiklanan sehingga konsumen tidak melupakan produk itu” sudah benar adanya sesuai dengan pendapat pada hukum pertambahan manfaat yang makin menurun (the law of diminishing marginal utility). PT.Indofood sudah mengambil langkah tepat walaupun telat, karena menurut teori perilaku konsumen memang barang yang berada di fase terpuncak harus cepat membuat alternative dan kreasi baru untuk barangnya agar tetap menjadi pilihan konsumen.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Post-post