Ini
Alasan Indofood Gencar Akuisisi Perusahaan Lain
Jumat, 29 November 2013
| 13:47 WIB
JAKARTA, KOMPAS.com —
Tahun ini merupakan tahun berbelanja bagi Grup Salim. Salah satu afiliasinya,
yakni PT Indofood CBP Tbk (ICBP), beberapa kali melakukan aksi korporasi
sepanjang tahun ini.
Pada Mei 2013, ICBP
menandatangani pembentukan perusahaan patungan (joint venture) dengan
Tsukishima Food Industry Co Ltd untuk membentuk PT Indofood Tsukishima Sukses
Makmur di Indonesia. ICBP menjadi pemegang saham pengendali, menguasai 65
persen saham perusahaan pembuat margarin asal Jepang ini.
Lalu, pada September
2013, ICBP juga menyelesaikan transaksi atas semua saham PT Pepsi-Cola Indobeverages.
Transaksi yang dilakukan dengan klien ICBP, Asahi, menelan biaya sekitar 30
juta dollar AS.
Masih pada bulan yang
sama, ICBP juga mendirikan perusahaan bernama PT Indofood Mitra Bahari Makmur
(IMBM). Perusahaan yang 99 persen sahamnya dimiliki oleh ICBP ini bergerak di
industri pengolahan makanan berbahan baku ikan.
Oktober lalu, ICBP juga
mengakuisisi usaha Grup Tirta Bahagia yang bergerak pada industri air minum
dalam kemasan (AMDK) dengan merek dagang Club senilai Rp 2,2 triliun. Tentunya,
manajemen memiliki alasan tersendiri mengapa ICBP menjadi sangat rajin
shopping.
Terakhir, ICBP
membentuk perusahaan patungan dengan perusahaan Jepang, JS Comsa Corporation.
Perusahaan itu memproduksi makanan olahan tepung seperti adonan pizza beku dan
sebagainya.
"Itu karena kami
ingin menyeimbangkan portofolio kami, 50-50 antara pendapatan dari mi instan
dan produk lain," ujar Weriyanti Setiawan, Direktur ICBP.
Memang, mi instan
buatan ICBP sudah dikenal masyarakat Indonesia selama puluhan tahun. Jadi, jika
digambarkan dalam sebuah kurva produksi, maka mi instan buatan ICBP sudah
berada dalam fase tertinggi, yaitu fase ketiga atau fase dewasa.
Pada fase itu, produk
yang dijual sudah tidak memungkinkan lagi untuk tumbuh pesat. Jika sudah berada
dalam fase ketiga, maka pilihannya tinggal dua, yaitu produk yang bersangkutan
bakal turun karena dilupakan masyarakat, atau tetap dijaga ritmenya dengan
inovasi dan pengiklanan sehingga konsumen tidak melupakan produk itu.
Untuk hal ini,
manajemen memilih opsi yang kedua. Caranya, tentu dengan pengiklanan dan
inovasi. Oleh sebab itu, saat ini merek Indomie yang ditemukan di warung
kelontong atau minimarket sekalipun rasanya bukan lagi hanya rasa ayam bawang,
melainkan banyak citarasa kuliner Nusantara, bahkan oriental. Bahkan, ada juga
inovasi yang dilakukan dengan membuat mi yang lebih kenyal dan keriting.
Ketika sudah berada
dalam fase ketiga dan sebelum inovasi itu dilakukan, penjualan mi instan ICBP
tidak bisa bergerak banyak, hanya tumbuh sekitar 2 persen per tahun. Namun
semenjak inovasi itu dibuat, mi instan ICBP bisa tumbuh sekitar 6 persen.
"Tidak terlalu pesat, tapi paling tidak masih lebih baik," tambah
Weriyanti.
Oleh karena itu, dengan
semua aksi korporasi yang dilakukan, manajemen berharap penyeimbangan
portofolio pendapatannya bisa segera terealisasi dalam waktu yang terlalu lama.
Catatan saja, hingga kuartal III tahun ini, ICBP membukukan pendapatan Rp 18,88
triliun.
Dari angka itu, sebesar
68 persen berasal dari penjualan mi instan. Sisanya diperoleh dari penjualan
divisi dairy, makanan ringan, penyedap makanan, serta nutrisi dan makanan
khusus yang masing-masing memberikan kontribusi sekitar 19 persen, 7 persen, 4
persen, dan 2 persen.
Sebenarnya, Weriyanti
juga mengakui, aksi korporasi yang dilakukan belakangan ini agak terlambat.
Namun mau bagaimana lagi, aksi korporasi itu memang harus melewati proses yang
panjang meski manajemen telah menyiapkan cetak biru semua aksi korporasinya itu
sejak 2010 silam.
"Yang jelas kami
belum ketinggalan momentum pertumbuhan ekonomi Indonesia yang pesat untuk 30
tahun mendatang," pungkas Weriyanti. (Dityasa H Forddanta)
Sumber : Kontan
Editor : Bambang Priyo
Jatmiko
Opini:
Menurut
alasan “Jadi, jika digambarkan dalam sebuah kurva produksi, maka mi instan
buatan ICBP sudah berada dalam fase tertinggi, yaitu fase ketiga atau fase
dewasa. Pada fase ini, produk yang dijual sudah tidak memungkinkan lagi untuk
tumbuh pesat. Jika sudah berada dalam fase ketiga, maka pilihannya tinggal dua,
yaitu produk yang bersangkutan bakal turun karena dilupakan masyarakat, atau
tetap dijaga ritmenya dengan inovasi dan pengiklanan sehingga konsumen tidak
melupakan produk itu” sudah benar adanya sesuai dengan pendapat pada hukum pertambahan manfaat yang makin menurun
(the law of diminishing marginal utility). PT.Indofood sudah mengambil
langkah tepat walaupun telat, karena menurut teori perilaku konsumen memang
barang yang berada di fase terpuncak harus cepat membuat alternative dan kreasi
baru untuk barangnya agar tetap menjadi pilihan konsumen.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar