Senin, 07 Oktober 2013

Tulisan 3_Bahasa Indonesia 2

Listrik Naik, Listrik Padam

Tarif Dasar Listrik, mulai 1 Oktober 2013, naik 3,5 persen. Kenaikan ini merupakan bagian dari penaikan TDL 15 persen yang sudah ditetapkan untuk tahun ini. Kenaikan TDL dilakukan di tengah pemadaman bergilir yang sudah berbulan-bulan dialami masyarakat di Sumatra dan telah membuat masyarakat di sana kehilangan kesabaran.

Berbicara tentang ketersediaan listrik memang kita pantas prihatin. Daya listrik yang tersedia bukan hanya buruk kualitasnya, tetapi jauh di bawah kebutuhan yang diperlukan. Pilihan energi yang dipergunakan pun sama sekali tidak memerhatikan nilai keekonomisan, sehingga membebani subsidi yang harus dibayar dari pajak rakyat.

Bayangkan, sekitar 80 persen pembangkit listrik yang kita miliki berbahan bakar solar. Untuk mengatasi kekurangan daya listrik di Sumatra, Perusahaan Listrik Negara lagi-lagi memilih untuk menyewa diesel. Padahal, biaya per KiloWattHour mencapai 45 sen dollar AS atau sekitar Rp4.500.

Setiap tahun kita harus menyediakan subsidi untuk listrik lebih dari Rp100 triliun. Sejak 2009 ada kenaikan subsidi listrik sampai Rp60 triliun dan kita tidak menganggapnya sebagai masalah besar. Sudah begitu besarnya subsidi yang harus kita keluarkan, kualitasnya pun buruk.

Padahal dengan besaran subsidi seperti itu, kita bisa membangun satu pembangkit yang baru dengan kapasitas 1.000 MW. Anehnya kita tidak kunjung membangun pembangkit listrik dengan sumber energi lain yang melimpah di negeri ini.

Proyek pembangunan pembangkit listrik 10.000 MW yang digagas Wakil Presiden Jusuf Kalla di tahun 2008 sampai saat ini baru selesai 60 persen. Banyak proyek yang terhambat karena urusan perizinan atau lahan, yang seharusnya bisa diselesaikan oleh pemerintah.

Kita tidak melihat ada upaya yang sungguh-sungguh untuk menyelesaikannya. Padahal setiap tiga tahun kita harus membangun pembangkit listrik yang baru karena permintaan yang terus bertambah dan juga menurunnya kemampuan pembangkit listrik yang sudah lebih dulu ada.

Sumber energi yang bisa dipergunakan untuk pembangkitan listrik sebenarnya cukup banyak. Kita memiliki batu bara, gas, panas bumi, air, dan sinar matahari. Biaya produksi listrik dengan menggunakan panas bumi, air, gas, dan batu bara jauh lebih murah daripada solar. Biayanya bisa berkisar antara 9 sen hingga 15 sen dollar AS saja atau antara Rp 900 hingga Rp 1.500 per kWh.

Tidak berlebihan apabila kita mempertanyakan motif di balik pembiaran dari pembangkitan listrik berbiaya tinggi seperti sekarang ini. Jelas ada pihak-pihak yang bermain dengan subsidi listrik yang harus kita keluarkan dan mereka mendapatkan keuntungan dari itu.

Hasil temuan Badan Pemeriksa Keuangan menunjukkan ada beberapa badan usaha milik negara yang sengaja menggelembungkan subsidi yang dibayarkan negara. Salah satunya adalah PLN yang penggelembungannya lebih dari Rp 6 triliun setiap tahun.

Kita tentu tidak bisa membiarkan negara ini terus dibebani oleh biaya-biaya yang tidak efisien. Pada akhirnya ketidakefisienan tersebut harus ditanggung oleh rakyat. Kenaikan harga TDL yang harus dibayar masyarakat sekarang ini, sebagian akibat dari ketidakefisienan dalam memproduksi daya listrik.

Negara ini tidak akan bisa beranjak maju apabila terus dibiarkan menanggung ketidakefisienan. Kita membutuhkan cara pandang yang lebih komprehensif untuk memanfaatkan sumber energi yang kita miliki untuk kesejahteraan seluruh rakyat.

Seperti halnya negara-negara lain, mereka begitu hemat dalam menggunakan energi yang dimiliki. Demi keberlanjutan pembangunan dari bangsanya, sumber energi yang mereka miliki tidak dihambur-hamburkan untuk diekspor, tetapi lebih diprioritaskan untuk kepentingan dalam negeri.

Pada era Orde Baru, ketika industri manufaktur kita belum berkembang, wajar apabila sumber daya alam dijadikan sumber devisa negara. Tetapi sekarang ketika sumbangan minyak dan gas terhadap ekspor hanya tersisa 25 persen saja, lebih baik sumber energi itu kita manfaatkan sepenuhnya untuk kepentingan dalam negeri.

Apalagi kenyataannya impor minyak kita begitu besarnya. Setiap hari ada sekitar 750.000 barel minyak yang harus kita datangkan untuk kilang-kilang minyak kita. Besarnya impor minyak itulah yang menyebabkan defisit transaksi berjalan mengangga lebar dan akibatnya nilai tukar rupiah tertekan begitu dalam.

Ironisnya sebagian dari impor minyak itu kita pakai untuk menghidupkan pembangkit listrik kita. Sebaliknya kita menjual murah gas-gas yang ada ke negara lain dan gas itu dipergunakan oleh mereka untuk menghidupkan pembangkit listrik di negaranya. Akibatnya, kita yang sebenarnya memiliki sumber energi harus menanggung biaya listrik yang mahal, sementara negara lain yang tidak memiliki sumber energi, bisa mendapatkan harga listrik yang murah.

Sungguh tidak adil karena ketidakcerdasan kita dalam memproduksi listrik harus ditanggung bebannya oleh rakyat. Hanya karena alasan subsidi yang membengkak TDL dinaikkan, padahal subsidi yang besar itu disebabkan oleh bauran energi yang tidak kita jalankan.

Lebih sedih lagi masih banyak warga bangsa ini yang belum menikmati listrik. Atau kalau pun ada harus mengalami pemadaman bergilir seperti di Sumatera. Padahal seperti dikatakan Jusuf Kalla, listrik adalah induk dari industri dan kehidupan.

sumber: 

http://www.metrotvnews.com/front/view/2013/10/02/1657/Listrik-Naik-Listrik-Padam/tajuk



Opini:

Menurut saya peningkatan tarif listrik tidak dibarengi oleh naiknya kualitas sehingga masih ada pemadaman bergilir. Faktor kedua lainnya tarif listrik naik naik karena negara kita sudah defisit anggaran minyak, dikarenakan besarnya impor jauh lebih besar dibandingkan besarnya ekspor yang dilakukan.

Tetapi lebih baik pemerintah menyediakan dana untuk membuat sumber alternatif lain yang menghasilkan listrik. Jadi masyarakat tidak hanya mengandalkan listrik untuk kebutuhan mereka sehari-hari. Kalaupun tidak menyediakan alternatif sumber daya lain, yaitu dengan penggunaan minyak untuk negeri kita sendiri agar lebih murah.

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Post-post