BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Krisis
moneter telah membawa dampak buruk bagi perekonomian Indonesia. Krisis
ini ditandai dengan lumpuhnya berbagai sector yang ada, khususnya sector
ekonomi yang merupakan tulang punggung bangsa dalam meningkatkan
pertumbuhan ekonomi. Krisis moneter yang terjadi di Indonesia
benar-benar berdampak buruk bagi perkembangan ekonomi Indonesia. Sebelum
adanya krisis moneter perkembangan ekonomi Indonesia bisa dibilang
bagus, karena angka pengangguran dan kemiskinan tidak terlalu banyak
seperti sekarang ini. Semenjak adanya krisis moneter perekonomian
Indonesia sangat kacau. Dan jangka waktu untuk pemulihan perekonomian
Indonesia sangatlah lama, sampai sekarang pun dampak krisis moneter
masih terasa.
Pertumbuhan
perekonomian Indonesia sebelum krisis moneter memang tidak stabil,
namun ketika krisis moneter pertumbuhan perekonomian Indonesia langsung
turun drastis. Begitu juga dengan tingkat inflasi, neraca pembayaran,
neraca perdagangan, cadangan devisa akhir tahun, semuanya menurun sangat
drastis, hingga akhirnya pemerintah memutuskan untuk berhutang pada
Bank Dunia dalam jumlah uang yang sangat besar. Dampak krisis moneter
memang sampai sekarang terasa, karena hutang Indonesia pada Bank Dunia
masih belum bisa dilunasi karena perekonomian Indonesia masih belum
stabil dan Indonesia sampai saat ini masih menjadi Negara berkembang.
Serta masih belum bisa mengatasi masalah pengangguran dan kemiskinan
yang terjadi di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
Krisis Moneter
Krisis
moneter yang melanda Indonesia sejak awal Juli 1997, sementara ini
telah berlangsung hampir dua tahun dan telah berubah menjadi krisis
ekonomi, yakni lumpuhnya kegiatan ekonomi karena semakin banyak
perusahaan yang tutup dan meningkatnya jumlah pekerja yang menganggur.
Memang krisis ini tidak seluruhnya disebabkan karena terjadinya krisis
moneter saja, karena sebagian diperberat oleh berbagai musibah nasional
yang datang secara bertubi-tubi di tengah kesulitan ekonomi seperti
kegagalan panen padi di banyak tempat karena musim kering yang panjang
dan terparah selama 50 tahun terakhir, hama, kebakaran hutan secara
besar-besaran di Kalimantan dan peristiwa kerusuhan yang melanda banyak
kota pada pertengahan Mei 1998 lalu dan kelanjutannya.
Krisis
moneter ini terjadi, meskipun fundamental ekonomi Indonesia di masa
lalu dipandang cukup kuat dan disanjung-sanjung oleh Bank Dunia (lihat
World Bank: Bab 2 dan Hollinger). Yang dimaksud dengan fundamental
ekonomi yang kuat adalah pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, laju
inflasi terkendali, tingkat pengangguran relatif rendah, neraca
pembayaran secara keseluruhan masih surplus meskipun defisit neraca
berjalan cenderung membesar namun jumlahnya masih terkendali, cadangan
devisa masih cukup besar, realisasi anggaran pemerintah masih
menunjukkan sedikit surplus. Lihat Tabel. Namun di balik ini terdapat
beberapa kelemahan struktural seperti peraturan perdagangan domestik
yang kaku dan berlarut-larut, monopoli impor yang menyebabkan kegiatan
ekonomi tidak efisien dan kompetitif. Pada saat yang bersamaan kurangnya
transparansi dan kurangnya data menimbulkan ketidak pastian sehingga
masuk dana luar negeri dalam jumlah besar melalui sistim perbankan yang
lemah. Sektor swasta banyak meminjam dana dari luar negeri yang sebagian
besar tidak di hedge. Dengan terjadinya krisis moneter, terjadi juga
krisis kepercayaan. (Bandingkan juga IMF, 1997: 1). Namun semua
kelemahan ini masih mampu ditampung oleh perekonomian nasional. Yang
terjadi adalah, mendadak datang badai yang sangat besar, yang tidak
mampu dbendung oleh tembok penahan yang ada, yang selama bertahun-tahun
telah mampu menahan berbagai terpaan gelombang yang datang mengancam.
INDIKATOR UTAMA EKONOMI INDONESIA 1990 - 1997
1990
|
1991
|
1992
|
1993
|
1994
|
1995
|
1996
|
1997
| |
Pertumbuhan ekonomi (%)
|
7,24
|
6,95
|
6,46
|
6,50
|
7,54
|
8,22
|
7,98
|
4,65
|
Tingkat inflasi (%)
|
9,93
|
9,93
|
5,04
|
10,18
|
9,66
|
8,96
|
6,63
|
11,60
|
Neraca pembayaran (US$ juta)
|
2,099
|
1,207
|
1,743
|
741
|
806
|
1,516
|
4,451
|
-10,021
|
Neraca perdagangan
|
5,352
|
4,801
|
7,022
|
8,231
|
7,901
|
6,533
|
5,948
|
12,964
|
Neraca berjalan
|
-3.24
|
-4,392
|
-3,122
|
-2,298
|
-2.96
|
-6.76
|
-7,801
|
-2,103
|
Neraca modal
|
4,746
|
5,829
|
18,111
|
17,972
|
4,008
|
10,589
|
10,989
|
-4,845
|
Pemerintah (neto)
|
633
|
1,419
|
12,752
|
12,753
|
307
|
336
|
-522
|
4,102
|
Swasta (neto)
|
3,021
|
2,928
|
3,582
|
3,216
|
1,593
|
5,907
|
5,317
|
-10.78
|
PMA (neto)
|
1,092
|
1,482
|
1,777
|
2,003
|
2,108
|
4,346
|
6,194
|
1,833
|
Cadangan devisa akhir tahun (US$ juta)
|
8,661
|
9,868
|
11,611
|
12,352
|
13,158
|
14,674
|
19,125
|
17,427
|
(bulan impor nonmigas c&f)
|
4,7
|
4,8
|
5,4
|
5,4
|
5,0
|
4,3
|
5,2
|
4,5
|
Debt-service ratio (%)
|
30,9
|
32,0
|
31,6
|
33,8
|
30,0
|
33,7
|
33,0
| |
Nilai tukar Des. (Rp/US$)
|
1,901
|
1,992
|
2,062
|
2.11
|
2.2
|
2,308
|
2,383
|
4.65
|
APBN* (Rp. milyar)
|
3,203
|
433
|
-551
|
-1.852
|
1,495
|
2,807
|
818
|
456
|
* Tahun anggaran
Sumber : BPS, Indikator Ekonomi; Bank Indonesia, Statistik Ekonomi Keuangan Indonesia; World Bank, Indonesia in Crisis, July 2, 1998.
Sumber : BPS, Indikator Ekonomi; Bank Indonesia, Statistik Ekonomi Keuangan Indonesia; World Bank, Indonesia in Crisis, July 2, 1998.
Sebagai
konsekuensi dari krisis moneter ini, Bank Indonesia pada tanggal 14
Agustus 1997 terpaksa membebaskan nilai tukar rupiah terhadap valuta
asing, khususnya dollar AS, dan membiarkannya berfluktuasi secara bebas
(free floating) menggantikan sistim managed floating yang dianut
pemerintah sejak devaluasi Oktober 1978. Dengan demikian Bank Indonesia
tidak lagi melakukan intervensi di pasar valuta asing untuk menopang
nilai tukar rupiah, sehingga nilai tukar ditentukan oleh kekuatan pasar
semata. Nilai tukar rupiah kemudian merosot dengan cepat dan tajam dari
rata-rata Rp 2.450 per dollar AS Juni 1997 menjadi Rp 13.513 akhir
Januari 1998, namun kemudian berhasil menguat kembali menjadi sekitar Rp
8.000 awal Mei 1999.
Faktor-Faktor Penyebabnya
Penyebab
dari krisis ini bukanlah fundamental ekonomi Indonesia yang selama ini
lemah, hal ini dapat dilihat dari data-data statistik di atas, tetapi
terutama karena utang swasta luar negeri yang telah mencapai jumlah yang
besar. Yang jebol bukanlah sektor rupiah dalam negeri, melainkan sektor
luar negeri, khususnya nilai tukar dollar AS yang mengalami
overshooting yang sangat jauh dari nilai nyatanya1 . Krisis yang
berkepanjangan ini adalah krisis merosotnya nilai tukar rupiah yang
sangat tajam, akibat dari serbuan yang mendadak dan secara bertubi-tubi
terhadap dollar AS (spekulasi) dan jatuh temponya utang swasta luar
negeri dalam jumlah besar.
Seandainya
tidak ada serbuan terhadap dollar AS ini, meskipun terdapat banyak
distorsi pada tingkat ekonomi mikro, ekonomi Indonesia tidak akan
mengalami krisis. Dengan lain perkataan, walaupun distorsi pada tingkat
ekonomi mikro ini diperbaiki, tetapi bila tetap ada gempuran terhadap
mata uang rupiah, maka krisis akan terjadi juga, karena cadangan devisa
yang ada tidak cukup kuat untuk menahan gempuran ini. Krisis ini
diperparah lagi dengan akumulasi dari berbagai faktor penyebab lainnya
yang datangnya saling bersusulan. Analisis dari faktor-faktor penyebab
ini penting, karena penyembuhannya tentunya tergantung dari ketepatan
diagnosa.
Anwar
Nasution melihat besarnya defisit neraca berjalan dan utang luar
negeri, ditambah dengan lemahnya sistim perbankan nasional sebagai akar
dari terjadinya krisis finansial (Nasution: 28). Bank Dunia melihat
adanya empat sebab utama yang bersamasama membuat krisis menuju ke arah
kebangkrutan (World Bank, 1998, pp. 1.7 -1.11). Yang pertama adalah
akumulasi utang swasta luar negeri yang cepat dari tahun 1992 hingga
Juli 1997, sehingga l.k. 95% dari total kenaikan utang luar negeri
berasal dari sektor swasta ini, dan jatuh tempo rata-ratanya hanyalah 18
bulan. Bahkan selama empat tahun terakhir utang luar negeri pemerintah
jumlahnya menurun. Sebab yang kedua adalah kelemahan pada sistim
perbankan. Ketiga adalah masalah governance, termasuk kemampuan
pemerintah menangani dan mengatasi krisis, yang kemudian menjelma
menjadi krisis kepercayaan dan keengganan donor untuk menawarkan bantuan
finansial dengan cepat. Yang keempat adalah ketidak pastian politik
menghadapi Pemilu yang lalu dan pertanyaan mengenai kesehatan Presiden
Soeharto pada waktu itu.
Sementara
menurut penilaian penulis, penyebab utama dari terjadinya krisis yang
berkepanjangan ini adalah merosotnya nilai tukar rupiah terhadap dollar
AS yang sangat tajam, meskipun ini bukan faktor satu-satunya, tetapi ada
banyak faktor lainnya yang berbeda menurut sisi pandang masing-masing
pengamat. Berikut ini diberikan rangkuman dari berbagai faktor tersebut
menurut urutan kejadiannya:
- Dianutnya sistem devisa yang terlalu bebas tanpa adanya pengawasan yang memadai, memungkinkan arus modal dan valas dapat mengalir keluar-masuk secara bebas berapapun jumlahnya. Kondisi di atas dimungkinkan, karena Indonesia menganut rezim devisa bebas dengan rupiah yang konvertibel, sehingga membuka peluang yang sebesarbesarnya untuk orang bermain di pasar valas. Masyarakat bebas membuka rekening valas di dalam negeri atau di luar negeri. Valas bebas diperdagangkan di dalam negeri, sementara rupiah juga bebas diperdagangkan di pusat-pusat keuangan di luar negeri.
- Tingkat depresiasi rupiah yang relatif rendah, berkisar antara 2,4% (1993) hingga 5,8% (1991) antara tahun 1988 hingga 1996, yang berada di bawah nilai tukar nyatanya, menyebabkan nilai rupiah secara kumulatif sangat overvalued. Ditambah dengan kenaikan pendapatan penduduk dalam nilai US dollar yang naiknya relatif lebih cepat dari kenaikan pendapatan nyata dalam Rupiah, dan produk dalam negeri yang makin lama makin kalah bersaing dengan produk impor. Nilai Rupiah yang overvalued berarti juga proteksi industri yang negatif. Akibatnya harga barang impor menjadi relatif murah dan produk dalam negeri relatif mahal, sehingga masyarakat memilih barang impor yang kualitasnya lebih baik. Akibatnya produksi dalam negeri tidak berkembang, ekspor menjadi kurang kompetitif dan impor meningkat. Nilai rupiah yang sangat overvalued ini sangat rentan terhadap serangan dan permainan spekulan, karena tidak mencerminkan nilai tukar yang nyata.
- Akar
dari segala permasalahan adalah utang luar negeri swasta jangka
pendek dan menengah sehingga nilai tukar rupiah mendapat tekanan
yang berat karena tidak tersedia cukup devisa untuk membayar utang
yang jatuh tempo beserta bunganya (bandingkan juga Wessel et al.: 22),
ditambah sistim perbankan nasional yang lemah. Akumulasi utang
swasta luar negeri yang sejak awal tahun 1990-an telah mencapai
jumlah yang sangat besar, bahkan sudah jauh melampaui utang resmi
pemerintah yang beberapa tahun terakhir malah sedikit berkurang
(oustanding official debt). Ada tiga pihak yang bersalah di sini,
pemerintah, kreditur dan debitur. Kesalahan pemerintah adalah,
karena telah memberi signal yang salah kepada pelaku ekonomi dengan
membuat nilai rupiah terus-menerus overvalued dan suku bunga
rupiah yang tinggi, sehingga pinjaman dalam rupiah menjadi relatif
mahal dan pinjaman dalam mata uang asing menjadi relatif murah.
Sebaliknya, tingkat bunga di dalam negeri dibiarkan tinggi untuk menahan
pelarian dana ke luar negeri dan agar masyarakat mau
mendepositokan dananya dalam rupiah. Jadi di sini pemerintah
dihadapi dengan buah simalakama. Keadaan ini menguntungkan
pengusaha selama tidak terjadi devaluasi dan ini terjadi selama
bertahun-tahun sehingga memberi rasa aman dan orang terus meminjam
dari luar negeri dalam jumlah yang semakin besar. Dengan demikian
pengusaha hanya bereaksi atas signal yang diberikan oleh
pemerintah. Selain itu pemerintah sama sekali tidak melakukan pengawasan
terhadap utang-utang swasta luar negeri ini, kecuali yang
berkaitan dengan proyek pemerintah dengan dibentuknya tim PKLN.
Bagi debitur dalam negeri, terjadinya utang swasta luar negeri
dalam jumlah besar ini, di samping lebih menguntungkan, juga
disebabkan suatu gejala yang dalam teori ekonomi dikenal sebagai
fallacy of thinking2 , di mana pengusaha beramai-ramai melakukan
investasi di bidang yang sama meskipun bidangnya sudah jenuh,
karena masing-masing pengusaha hanya melihat dirinya sendiri saja dan
tidak memperhitungkan gerakan pengusaha lainnya. Pihak kreditur luar
negeri juga ikut bersalah, karena kurang hati-hati dalam memberi
pinjaman dan salah mengantisipasi keadaan (bandingkan IMF, 1998:
5). Jadi sudah sewajarnya, jika kreditur luar negeri juga ikut
menanggung sebagian dari kerugian yang diderita oleh debitur.
Kalau masalahnya hanya menyangkut utang luar negeri pemerintah saja, meskipun masalahnya juga cukup berat karena selama bertahun-tahun telah terjadi net capital outflow3 yang kian lama kian membesar berupa pembayaran cicilan utang pokok dan bunga, namun masih bisa diatasi dengan pinjaman baru dan pemasukan modal luar negeri dari sumber-sumber lain. Beda dengan pinjaman swasta, pinjaman luar negeri pemerintah sifatnya jangka panjang, ada tenggang waktu pembayaran, tingkat bunganya relatif rendah, dan tiap tahunnya ada pemasukan pinjaman baru. Pada awal Mei 1998 besarnya utang luar negeri swasta dari 1.800 perusahaan diperkirakan berkisar antara US$ 63 hingga US$ 64 milyar, sementara utang pemerintah US$ 53,5 milyar. Sebagian besar dari pinjaman luar negeri swasta ini tidak di hedge (Nasution: 12). Sebagian orang Indonesia malah bisa hidup mewah dengan menikmati selisih biaya bunga antara dalam negeri dan luar negeri (Wessel et al., hal. 22), misalnya bank-bank. Maka beban pembayaran utang luar negeri beserta bunganya menjadi tambah besar yang dibarengi oleh kinerja ekspor yang melemah (bandingkan IDE). Ditambah lagi dengan kemerosotan nilai tukar rupiah yang tajam yang membuat utang dalam nilai rupiah membengkak dan menyulitkan pembayaran kembalinya. Pinjaman luar negeri dan dana masyarakat yang masuk ke sistim perbankan, banyak yang dikelola secara tidak prudent, yakni disalurkan ke kegiatan grupnya sendiri dan untuk proyek-proyek pembangunan realestat dan kondomium secara berlebihan sehingga jauh melampaui daya beli masyarakat, kemudian macet dan uangnya tidak kembali (Nasution: 28; Ehrke: 3). Pinjaman-pinjaman luar negeri dalam jumlah relatif besar yang dilakukan oleh sistim perbankan sebagian disalurkan ke sektor investasi yang tidak menghasilkan devisa (non-traded goods) di bidang tanah seperti pembangunan hotel, resort pariwisata, taman hiburan, taman industri, shopping malls dan realestat (Nasution: 9; IMF Research Department Staff: 10). Proyek-proyek besar ini umumnya tidak menghasilkan barang-barang ekspor dan mengandalkan pasar dalam negeri, maka sedikit sekali pemasukan devisa yang bisa diandalkan untuk membayar kembali utang luar negeri. Krugman melihat bahwa para financial intermediaries juga berperan di Thailand dan Korea Selatan dengan moral nekat mereka, yang menjadi penyebab utama dari krisis di Asia Timur. Mereka meminjamkan pada proyek-proyek berisiko tinggi sehingga terjadi investasi berlebihan di sektor tanah (Krugman, 1998; Greenwood). Mereka mulai mencari dollar AS untuk membayar utang jangka pendek dan membeli dollar AS untuk di hedge (World Bank, 1998, hal. 1.4).
- Permainan yang dilakukan oleh spekulan asing (bandingkan juga Ehrke: 2-3) yang dikenal sebagai hedge funds tidak mungkin dapat dibendung dengan melepas cadangan devisa yang dimiliki Indonesia pada saat itu, karena praktek margin trading, yang memungkinkan dengan modal relatif kecil bermain dalam jumlah besar. Dewasa ini mata uang sendiri sudah menjadi komoditi perdagangan, lepas dari sektor riil. Para spekulan ini juga meminjam dari sistim perbankan untuk memperbesar pertaruhan mereka. Itu sebabnya mengapa Bank Indonesia memutuskan untuk tidak intervensi di pasar valas karena tidak akan ada gunanya. Meskipun pada awalnya spekulan asing ikut berperan, tetapi mereka tidak bisa disalahkan sepenuhnya atas pecahnya krisis moneter ini. Sebagian dari mereka ini justru sekarang menderita kerugian, karena mereka membeli rupiah dalam jumlah cukup besar ketika kurs masih di bawah Rp. 4.000 per dollar AS dengan pengharapan ini adalah kurs tertinggi dan rupiah akan balik menguat, dan pada saat itu mereka akan menukarkan kembali rupiah dengan dollar AS (Wessel et al., hal. 1). Namun pemicu adalah krisis moneter kiriman yang berawal dari Thailand antara Maret sampai Juni 1997, yang diserang terlebih dahulu oleh spekulan dan kemudian menyebar ke negara Asia lainnya termasuk Indonesia (Nasution: 1; IMF Research Department Staff: 10; IMF, 1998: 5). Krisis moneter yang terjadi sudah saling kait-mengkait di kawasan Asia Timur dan tidak bisa dipisahkan satu sama lainnya (butir 16 dari persetujuan IMF 15 Januari 1998).
- Kebijakan fiskal dan moneter tidak konsisten dalam suatu sistim nilai tukar dengan pita batas intervensi. Sistim ini menyebabkan apresiasi nyata dari nilai tukar rupiah dan mengundang tindakan spekulasi ketika sistim batas intervensi ini dihapus pada tanggal 14 Agustus 1997 (Nasution: 2). Terkesan tidak adanya kebijakan pemerintah yang jelas dan terperinci tentang bagaimana mengatasi krisis (Nasution: 1) dan keadaan ini masih berlangsung hingga saat ini. Ketidak mampuan pemerintah menangani krisis menimbulkan krisis kepercayaan dan mengurangi kesediaan investor asing untuk memberi bantuan finansial dengan cepat (World Bank, 1998: 1.10).
- Defisit neraca berjalan yang semakin membesar (IMF Research Department Staff: 10; IDE), yang disebabkan karena laju peningkatan impor barang dan jasa lebih besar dari ekspor dan melonjaknya pembayaran bunga pinjaman. Sebab utama adalah nilai tukar rupiah yang sangat overvalued, yang membuat harga barang-barang impor menjadi relatif murah dibandingkan dengan produk dalam negeri.
- Penanam modal asing portfolio yang pada awalnya membeli saham besar-besaran dimingimingi keuntungan yang besar yang ditunjang oleh perkembangan moneter yang relatif stabil kemudian mulai menarik dananya keluar dalam jumlah besar (bandingkan World Bank, 1998, hal. 1.3, 1.4; Greenwood). Selisih tingkat suku bunga dalam negeri dengan luar negeri yang besar dan kemungkinan memperoleh keuntungan yang relatif besar dengan cara bermain di bursa efek, ditopang oleh tingkat devaluasi yang relatif stabil sekitar 4% per tahun sejak 1986 menyebabkan banyak modal luar negeri yang mengalir masuk. Setelah nilai tukar Rupiah tambah melemah dan terjadi krisis kepercayaan, dana modal asing terus mengalir ke luar negeri meskipun dicoba ditahan dengan tingkat bunga yang tinggi atas surat-surat berharga Indonesia (Nasution: 1, 11). Kesalahan juga terletak pada investor luar negeri yang kurang waspada dan meremehkan resiko (IMF, 1998: 5). Krisis ini adalah krisis kepercayaan terhadap rupiah (World Bank, 1998, p. 2.1).
- IMF tidak membantu sepenuh hati dan terus menunda pengucuran dana bantuan yang dijanjikannya dengan alasan pemerintah tidak melaksanakan 50 butir kesepakatan dengan baik. Negara-negara sahabat yang menjanjikan akan membantu Indonesia juga menunda mengucurkan bantuannya menunggu signal dari IMF, padahal keadaan perekonomian Indonesia makin lama makin tambah terpuruk. Singapura yang menjanjikan l.k. US$ 5 milyar meminta pembayaran bunga yang lebih tinggi dari pinjaman IMF, sementara Brunei Darussalam yang menjanjikan l.k. US$ 1 milyar baru akan mencairkan dananya sebagai yang terakhir setelah semua pihak lain yang berjanji akan membantu telah mencairkan dananya dan telah habis terpakai. IMF sendiri dinilai banyak pihak telah gagal menerapkan program reformasinya di Indonesia dan malah telah mempertajam dan memperpanjang krisis.
- Spekulan domestik ikut bermain (Wessel et al., hal. 22). Para spekulan inipun tidak semata-mata menggunakan dananya sendiri, tetapi juga meminjam dana dari sistim perbankan untuk bermain.
- Terjadi krisis kepercayaan dan kepanikan yang menyebabkan masyarakat luas menyerbu membeli dollar AS agar nilai kekayaan tidak merosot dan malah bisa menarik keuntungan dari merosotnya nilai tukar rupiah. Terjadilah snowball effect, di mana serbuan terhadap dollar AS makin lama makin besar. Orang-orang kaya Indonesia, baik pejabat pribumi dan etnis Cina, sudah sejak tahun lalu bersiap-siap menyelamatkan harta kekayaannya ke luar negeri mengantisipasi ketidak stabilan politik dalam negeri. Sejak awal Desember 1997 hingga awal Mei 1998 telah terjadi pelarian modal besar-besaran ke luar negeri karena ketidak stabilan politik seperti isu sakitnya Presiden dan Pemilu (World Bank, 1998: 1.4, 1.10). Kerusahan besar-besaran pada pertengahan Mei yang lalu yang ditujukan terhadap etnis Cina telah menggoyahkan kepercayaan masyarakat ini akan keamanan harta, jiwa dan martabat mereka. Padahal mereka menguasai sebagian besar modal dan kegiatan ekonomi di Indonesia dengan akibat mereka membawa keluar harta kekayaan mereka dan untuk sementara tidak melaukan investasi baru.
- Terdapatnya keterkaitan yang erat dengan yen Jepang, yang nilainya melemah terhadap dollar AS (lihat IDE). Setelah Plaza-Accord tahun 1985, kurs dollar AS dan juga mata uang negara-negara Asia Timur melemah terhadap yen Jepang, karena mata uang negaranegara Asia ini dipatok dengan dollar AS. Daya saing negara-negara Asia Timur meningkat terhadap Jepang, sehingga banyak perusahaan Jepang melakukan relokasi dan investasi dalam jumlah besar di negara-negara ini. Tahun 1995 kurs dollar AS berbalik menguat terhadap yen Jepang, sementara nilai utang dari negara-negara ini dalam dollar AS meningkat karena meminjam dalam yen, sehingga menimbulkan krisis keuangan. (Ehrke: 2).
Di
lain pihak harus diakui bahwa sektor riil sudah lama menunggu
pembenahan yang mendasar, namun kelemahan ini meskipun telah
terakumulasi selama bertahun-tahun masih bisa ditampung oleh masyarakat
dan tidak cukup kuat untuk menjungkir-balikkan perekonomian Indonesia
seperti sekarang ini. Memang terjadi dislokasi sumber-sumber ekonomi dan
kegiatan mengejar rente ekonomi oleh perorangan/kelompok tertentu yang
menguntungkan mereka ini dan merugikan rakyat banyak dan
perusahaan-perusahaan yang efisien. Subsidi pangan oleh BULOG, monopoli
di berbagai bidang, penyaluran dana yang besar untuk proyek IPTN dan
mobil nasional. Timbulnya krisis berkaitan dengan jatuhnya nilai tukar
rupiah terhadap dollar AS secara tajam, yakni sektor ekonomi luar
negeri, dan kurang dipengaruhi oleh sektor riil dalam negeri, meskipun
kelemahan sektor riil dalam negeri mempunyai pengaruh terhadap
melemahnya nilai tukar rupiah. Membenahi sektor riil saja, tidak
memecahkan permasalahan.
Krisis
pecah karena terdapat ketidak seimbangan antara kebutuhan akan valas
dalam jangka pendek dengan jumlah devisa yang tersedia, yang menyebabkan
nilai dollar AS melambung dan tidak terbendung. Sebab itu tindakan yang
harus segera didahulukan untuk mengatasi krisis ekonomi ini adalah
pemecahan masalah utang swasta luar negeri, membenahi kinerja perbankan
nasional, mengembalikan kepercayaan masyarakat dalam dan luar negeri
terhadap kemampuan ekonomi Indonesia, menstabilkan nilai tukar rupiah
pada tingkat yang nyata, dan tidak kalah penting adalah mengembalikan
stabilitas sosial dan politik.
Program Reformasi Ekonomi IMF
Menurut
IMF, krisis ekonomi yang berkepanjangan di Indonesia disebabkan karena
pemerintah baru meminta bantuan IMF setelah rupiah sudah sangat
terdepresiasi. Strategi pemulihan IMF dalam garis besarnya adalah
mengembalikan kepercayaan pada mata uang, yaitu dengan membuat mata uang
itu sendiri menarik. Inti dari setiap program pemulihan ekonomi adalah
restrukturisasi sektor finansial. (Fischer 1998b). Sementara itu
pemerintah Indonesia telah enam kali memperbaharui persetujuannya dengan
IMF, Second Supplementary Memorandum of Economic and Financial Policies
(MEFP) tanggal 24 Juni, kemudian 29 Juli 1998, dan yang terakhir adalah
review yang keempat, tanggal 16 Maret 1999.
Program
bantuan IMF pertama ditanda-tangani pada tanggal 31 Oktober 1997.
Program reformasi ekonomi yang disarankan IMF ini mencakup empat bidang:
- Penyehatan sektor keuangan;
- Kebijakan fiscal
- Kebijakan moneter;
- Penyesuaian struktural.
Untuk
menunjang program ini, IMF akan mengalokasikan stand-by credit sekitar
US$ 11,3 milyar selama tiga hingga lima tahun masa program. Sejumlah US$
3,04 milyar dicairkan segera, jumlah yang sama disediakan setelah 15
Maret 1998 bila program penyehatannya telah dijalankan sesuai
persetujuan, dan sisanya akan dicairkan secara bertahap sesuai kemajuan
dalam pelaksanaan program. Dari jumlah total pinjaman tersebut,
Indonesia sendiri mempunyai kuota di IMF sebesar US$ 2,07 milyar yang
bisa dimanfaatkan. (IMF, 1997: 1). Di samping dana bantuan IMF, Bank
Dunia, Bank Pembangunan Asia dan negaranegara sahabat juga menjanjikan
pemberian bantuan yang nilai totalnya mencapai lebih kurang US$ 37
milyar (menurut Hartcher dan Ryan). Namun bantuan dari pihak lain ini
dikaitkan dengan kesungguhan pemerintah Indonesia melaksanakan
program-program yang diprasyaratkan IMF.
Karena
dalam beberapa hal program-program yang diprasyaratkan IMF oleh pihak
Indonesia dirasakan berat dan tidak mungkin dilaksanakan, maka
dilakukanlah negosiasi kedua yang menghasilkan persetujuan mengenai
reformasi ekonomi (letter of intent) yang ditanda-tangani pada tanggal
15 Januari 1998, yang mengandung 50 butir. Saransaran IMF diharapkan
akan mengembalikan kepercayaan masyarakat dengan cepat dan kurs nilai
tukar rupiah bisa menjadi stabil (butir 17 persetujuan IMF 15 Januari
1998). Pokokpokok dari program IMF adalah sebagai berikut:
A. Kebijakan makro-ekonomi
- Kebijakan fiskal
- Kebijakan moneter dan nilai tukar
B. Restrukturisasi sektor keuangan
- Program restrukturisasi bank
- Memperkuat aspek hukum dan pengawasan untuk perbankan
C. Reformasi struktural
- Perdagangan luar negeri dan investasi
- Deregulasi dan swastanisasi
- Social safety net
- Lingkungan hidup.
Setelah
pelaksanaan reformasi kedua ini kembali menghadapi berbagai hambatan,
maka diadakanlah negosiasi ulang yang menghasilkan supplementary
memorandum pada tanggal 10 April 1998 yang terdiri atas 20 butir, 7
appendix dan satu matriks. Cakupan memorandum ini lebih luas dari kedua
persetujuan sebelumnya, dan aspek baru yang masuk adalah penyelesaian
utang luar negeri perusahaan swasta Indonesia. Jadwal pelaksanaan
masing-masing program dirangkum dalam matriks komitmen kebijakan
struktural. Strategi yang akan dilaksanakan adalah:
- Menstabilkan rupiah pada tingkat yang sesuai dengan kekuatan ekonomi Indonesia;
- Memperkuat dan mempercepat restrukturisasi sistim perbankan;
- Memperkuat implementasi reformasi struktural untuk membangun ekonomi yang efisien dan berdaya saing;
- Menyusun kerangka untuk mengatasi masalah utang perusahaan swasta;
- Kembalikan pembelanjaan perdagangan pada keadaan yang normal, sehingga ekspor bisa bangkit kembali.
Ke tujuh appendix adalah masing-masing:
- Kebijakan moneter dan suku bunga
- Pembangunan sektor perbankan
- Bantuan anggaran pemerintah untuk golongan lemah
- Reformasi BUMN dan swastanisasi
- Reformasi structural
- Restrukturisasi utang swasta
- Hukum Kebangkrutan dan reformasi yuridis.
Prioritas
utama dari program IMF ini adalah restrukturisasi sektor perbankan.
Pemerintah akan terus menjamin kelangsungan kredit murah bagi perusahaan
kecilmenengah dan koperasi dengan tambahan dana dari anggaran
pemerintah (butir 16 dan 20 dari Suplemen). Awal Mei 1998 telah
dilakukan pencairan kedua sebesar US$ 989,4 juta dan jumlah yang sama
akan dicairkan lagi berturut-turut awal bulan Juni dan awal bulan Juli,
bila pemerintah dengan konsekuen melaksanakan program IMF. Sementara itu
Menko Ekuin/ Kepala Bappenas menegaskan bahwa “Dana IMF dan sebagainya
memang tidak kita gunakan untuk intervensi, tetapi untuk mendukung
neraca pembayaran serta memberi rasa aman, rasa tenteram, dan rasa
kepercayaan terhadap perekonomian bahwa kita memiliki cukup devisa untuk
mengimpor dan memenuhi kewajiban-kewajiban luar negeri” (Kompas, 6 Mei
1998). Pencairan berikutnya sebesar US$ 1 milyar yang dijadwalkan awal
bulan Juni baru akan terlaksana awal bulan September ini.
Kritik Terhadap IMF
Banyak
kritik yang dilontarkan oleh berbagai pihak ke alamat IMF dalam hal
menangani krisis moneter di Asia, yang paling umum adalah bahwa: (1)
program IMF terlalu seragam, padahal masalah yang dihadapi tiap negara
tidak seluruhnya sama; dan (2) program IMF terlalu banyak mencampuri
kedaulatan negara yang dibantu (Fischer, 1998b). Radelet dan Sachs
secara gamblang mentakan bahwa bantuan IMF kepada tiga negara Asia
(Thailand, Korea dan Indonesia) telah gagal. Setelah melihat program
penyelematan IMF di ketiga negara tersebut, timbul kesan yang kuat bahwa
IMF sesungguhnya tidak menguasai permasalahan dari timbulnya krisis,
sehingga tidak bisa keluar dengan program penyelamatan yang tepat. Salah
satu pemecahan standar IMF adalah menuntut adanya surplus dalam
anggaran belanja negara, padahal dalam hal Indonesia anggaran belanja
negara sampai dengan tahun anggaran 1996/1997 hampir selalu surplus,
meskipun surplus ini ditutup oleh bantuan luar negeri resmi pemerintah.
Adalah kebijakan dari Orde Baru untuk menjaga keseimbangan dalam
anggaran belanja negara, dan prinsip ini terus dipegang. Selama ini
tidak ada pencetakan uang secara besar-besaran untuk menutup anggaran
belanja negara yang defisit, dan tidak ada tingkat inflasi yang melebihi
10%. Memang dalam anggaran belanja negara tahun 1998/1999 terdapat
defisit anggaran yang besar, namun ini bukan disebabkan karena kebijakan
deficit financing dari pemerintah, tetapi oleh karena nilai tukar
rupiah yang terpuruk terhadap dollar AS. Semakin jatuh nilai tukar
rupiah, semakin besar defisit yang terjadi dalam anggaran belanja.
Karena itu pemecahan utamanya adalah bagaimana mengembalikan nilai tukar
rupiah ke tingkat yang wajar.
J.
Stiglitz, pemimpin ekonom Bank Dunia, mengkritik bahwa prakondisi IMF
yang teramat ketat terhadap negara-negara Asia di tengah krisis yang
berkepanjangan berpotensi menyebabkan resesi yang berkepanjangan.
Kemudian berlakunya praktek apa yang dinamakan “konsensus Washington”,
yaitu negara pengutang lazimnya harus mendapatkan restu pendanaan dari
pemerintah AS, yang pada dasarnya hanya memperluas kesempatan ekonomi
AS. (Kompas, 13 Mei 1998). Kabar terakhir menyebutkan bahwa pencairan
bantuan tahap ketiga awal Juni ni akan tertunda lagi atas desakan
pemerintah AS yang dikaitkan dengan perkembangan reformasi politik di
Indonesia, dan ini akan menunda cairnya bantuan dari sumber-sumber lain
(Hartcher dan Ryan).
Anwar
Nasution mengkritik bahwa reformasi ekonomi yang disarankan IMF
bentuknya masih samar-samar. Tidak ada penjelasan rinci, bagaimana
caranya untuk meningkatkan penerimaan pemerintah dan mengurangi
pengeluaran pemerintah untuk mencapai sasaran surplus anggaran sebesar
1% dari PDB dalam tahun fiskal 1998/99, dan bagaimana ingin dicapai
sasaran pertumbuhan ekonomi sebesar 3%. Harapan satu-satunya adalah
peningkatan ekspor non-migas, namun kelemahan utama dari IMF adalah
tidak ada program yang jelas untuk meningkatkan efisiensi dan menurunkan
biaya produksi untuk mendorong ekspor non-migas. (Nasution: 27-28).
Penasehat
khusus IMF untuk Indonesia (P.R. Narvekar) sendiri juga dikutip sebagai
mengatakan bahwa “IMF kerap menerapkan standar ganda dalam pengambilan
keputusan. Di satu pihak, perwakilan IMF mewakili negara dan
pemerintahan dengan kebijakan dan visi politik masing-masing, sementara
keputusan yang diambil harus mengacu pada fakta konkret ekonomi.
Karenanya, ada saja peluang bahwa tudingan atas pelanggaran hak asasi
manusia di Indonesia yang makin marak belakangan ini, menjadi hal yang
disoroti Dewan Direktur IMF dalam pengambilan keputusannya pekan depan”.
Demikianpun halnya dengan Bank Dunia. (Kompas, 2 Mei 1998).
Sri
Mulyani mengemukakan, bahwa di bidang kebijaksanaan makro IMF tidak
memperlihatkan adanya konsistensi antarinstrumen kebijaksanaan. Di satu
pihak IMF memberikan kelenturan dengan mengizinkan dipertahankannya
subsidi dan menyediakan dana untuk menciptakan jaringan keselamatan
sosial, sedang di lain pihak menganut kebijaksanaan moneter yang
kontraktif. Kedua kebijaksanaan ini bisa memandulkan efektivitas
kebijaksanaan makro, terutama dalam rangka stabilitas nilai tukar dan
inflasi. (Sri Mulyani: 72). “Secara makro ancaman kegagalan terbesar
kesepakatan ketiga ini berasal dari kebijaksanaan moneter yang masih
ambivalen, karena keharusan BI melakukan fungsi lender of last resort
bagi perbankan nasional, yang bertentangan dengan tema pengetatan, juga
ketidak sejalanan kebijaksanaan moneter dan fiskal” (Sri Mulyani: 72).
Saran
IMF menutup sejumlah bank yang bermasalah untuk menyehatkan sistim
perbankan Indonesia pada dasarnya adalah tepat, karena cara pengelolaan
bank yang amburadul dan tidak mengikuti peraturan, namun dampak
psikologisnya dari tindakan ini tidak diperhitungkan. Masyarakat
kehilangan kepercayaan kepada otoritas moneter, Bank Indonesia dan
perbankan nasional, sehingga memperparah keadaan dan masyarakat
beramai-ramai memindahkan dananya dalam jumlah besar ke bank-bank asing
dan pemerintah atau ditaruh di rumah, yang menimbulkan krisis likuiditas
perbankan nasional yang gawat. Hal ini juga diakui oleh IMF (butir 14,
15 dan 24 dari persetujuan IMF tanggal 15 Januari 1998).
Pertanyaan
mendasar yang harus ditujukan kepada IMF menurut penulis adalah sejauh
mana IMF bersungguh-sungguh dalam hal membantu mengatasi krisis ekonomi
yang sedang melanda Indonesia dewasa ini? Apakah sama seperti
kesungguhan Amerika Serikat ketika membantu Meksiko bersama-sama dengan
IMF dan negara-negara maju lainnya yang berhasil menggalang sebesar
hampir US$ 48 milyar Januari 1995? Setelah mencapai titik terendah tahun
1995, perekonomian Meksiko dengan cepat pada tahun 1996 dapat bangkit
kembali. Rencana IMF untuk mencairkan bantuannya secara bertahap dalam
jarak waktu yang cukup jauh menunjukkan bahwa IMF menekan Indonesia
untuk menjalankan programnya secara ketat dan membiarkan keadaan ekonomi
Indonesia terus merosot menuju resesi yang berkepanjangan. Dengan
menahan pencairan bantuan tahap kedua dan setelah diundur, hanya dicicil
US$ 1 milyar dari jumlah US$ 3 milyar, ditambah jarak yang cukup lama
antara paket bantuan pertama dan kedua, menyulitkan pemulihan ekonomi
Indonesia secara cepat, menghilangkan kepercayaan terhadap rupiah,
bahkan memperparah keadaan. Karena badan internasional lain dan
negara-negara sahabat yang menjanjikan bantuan juga menunggu signal dari
IMF, berhubung semua bantuan tambahan yang besarnya mencapai US$ 27
milyar dikaitkan dengan cairnya bantuan IMF. Di lain pihak, kita juga
perlu berterima kasih kepada IMF karena dengan menunda mencairkan
bantuannya, IMF sedikit banyak mempunyai andil dalam perjuangan
menggulirkan tuntutan reformasi politik, ekonomi dan hukum di Indonesia
yang pada akhirnya bermuara pada mundurnya Presiden Soeharto.
Saran
IMF untuk menstabilkan nilai tukar adalah dengan menerapkan kebijakan
uang ketat, menaikkan suku bunga dan mengembalikan kepercayaan terhadap
kebijakan ekonomi, dari waktu ke waktu mengadakan intervensi terbatas di
pasar valas dengan petunjuk IMF (lihat butir 14, 16, 17, 21 dari
persetujuan 15 Januari 1998; butir 5, 7 dari Suplemen). Sayangnya tidak
ada program khusus yang secara langsung ditujukan untuk menguatkan
kembali nilai tukar rupiah, juga tidak ada Appendix untuk masalah ini.
IMF tidak memecahkan permasalahan yang utama dan yang paling mendesak
secara langsung. IMF bisa saja terlebih dahulu mengambil kebijakan
memprioritaskan stabilisasi nilai tukar rupiah, kalau mau, dengan
mencairkan dana bantuan yang relatif besar pada bulan November lalu,
yang didukung oleh bantuan dana dari World Bank, Asian Development Bank
dan negara-negara sahabat. Dengan demikian timbulnya krisis kepercayaan
yang berkepanjangan dapat dicegah. IMF sendiri tampaknya tidak tahu apa
yang harus dilakukannya dan berputarputar pada kebijakan surplus
anggaran, uang ketat, tingkat bunga tinggi, pembenahan sektor riil yang
memang perlu dan sudah sangat mendesak, dan titipan-titipan khusus dari
negaranegara maju yaitu membuka peluang investasi yang seluas-luasnya
bagi mereka dengan menggunakan kesempatan dalam kesempitan Indonesia.
Di
lain pihak memang harus diakui bahwa tekanan ini perlu untuk memastikan
kesungguhan Indonesia, karena untuk beberapa tindakan memang ada
tanda-tanda kekurang sungguhan di pihak Indonesia. Tidak adanya program
dari IMF yang jelas dan berjangka pendek untuk mengembalikan nilai tukar
rupiah ke tingkat yang wajar dan menstabilkannya membuat pemerintah
cukup lama terombang-ambing antara memilih program IMF atau currency
board system, yang justru menjanjikan kepastian dan kestabilan nilai
tukar pada tingkat yang wajar.
Krisis
ekonomi yang tengah berlangsung ini memang bukan tanggung-jawab IMF dan
tidak bisa dipecahkan oleh IMF sendiri. Namun kekurangan yang paling
utama dari IMF adalah bahwa IMF dalam program bantuannya tidak mencari
pemecahan terhadap masalah yang pokok dan sangat mendesak ini dan
berputar-putar pada reformasi struktural yang dampaknya jangka panjang.
Bila semua kekuatan bantuan ini dikumpulkan sekaligus secara dini, maka
hal ini dengan cepat akan memulihkan kembali kepercayaan masyarakat
dalam negeri dan internasional. Namun bantuan dana IMF dan
ketergantungan harapan pada IMF ini di(salah)gunakan untuk menekan
pemerintah Indonesia untuk melaksanakan reformasi struktural secara
besar-besaran. Ibaratnya orang yang sudah hampir tenggelam
diombang-ambing ombak laut tidak segera ditolong dengan dilempari
pelampung, tapi disuruh belajar berenang dahulu.
Reformasi
struktural sebagaimana yang dianjurkan oleh IMF memang mendasar dan
penting, tetapi dampak hasilnya baru bisa dirasakan dalam jangka
panjang, sementara pemecahan masalahnya sudah sangat mendesak, di mana
makin ditunda makin banyak perusahaan yang jatuh bergelimpangan. Banyak
perusahaan yang mengandalkan pasaran dalam negeri tidak bisa menjual
barang hasil produksinya karena perusahaan-perusahaan ini umumnya
memiliki kandungan impor yang tinggi dan harga jualnya menjadi tidak
terjangkau dengan semakin jatuhnya nilai tukar rupiah. Jadi, utang luar
negeri swasta dan nilai tukar rupiah yang merosot jauh dari nilai
riilnya adalah masalah-masalah dasar jangka pendek, yang lama tidak
disinggung oleh IMF. Di sini timbul keragu-raguan akan kemurnian
kebijakan reformasi IMF, sehingga timbul teka-teki, apakah IMF
benar-benar tidak melihat inti permasalahannya atau berpura-pura tidak
tahu? Atau IMF mengambil kesempatan dalam kesempitan untuk memaksakan
perubahan-perubahan yang sudah lama menjadi duri di matanya dan bagi
Bank Dunia serta mewakili kepentingan-kepentingan asing? Tampaknya di
balik anjuran program pemulihan kegiatan ekonomi ada titipan-titipan
politik dan ekonomi dari negara-negara besar tertentu. Program reformasi
IMF secara mencurigakan mengulang kembali tuntutan-tuntutan deregulasi
ekonomi yang sudah sejak bertahun-tahun didengungkan oleh Bank Dunia dan
belum sepenuhnya dilaksanakan oleh pemerintah Indonesia (lihat World
Bank, 1996, bab 2;World Bank, 1997, bab 4 dan 5).
Permintaan
IMF untuk menghentikan dengan segera perlakuan pembebasan pajak dan
kemudahan kredit untuk proyek mobil nasional dan IPTN adalah tepat,
karena dalam jangka pendek proyek ini akan mengacaukan kebijakan
pemerintah di bidang fiskal, anggaran dan moneter secara berarti. Juga
saran IMF untuk menghapuskan subsidi BBM dan listrik yang kian membesar
secara bertahap dalam jangka waktu tiga tahun sudah benar. Subsidi
listrik relatif lebih mudah untuk dihapuskan, yakni melalui subsidi
silang sehingga masyarakat berpenghasilan rendah tetap dikenakan tarif
listrik yang murah dan melalui peningkatan efisiensi, misalnya penagihan
yang lebih efektif. Namun penurunan subsidi BBM dan listrik oleh
pemerintah secara drastis dan mendadak pada tanggal 4 Mei 1998 yang lalu
mempunyai dampak yang sangat luas terhadap perekonomian rakyat kecil,
meskipun kepentingan rakyat kecil sangat diperhatikan dengan adanya
jaringan keselamatan sosial. Tindakan drastis ini sedikit-banyak telah
membantu memicu terjadinya kerusuhan-kerusuhan sosial dan politik. Yang
menjadi pertanyaan di sini adalah, apakah pemerintah tidak bisa menunda
kenaikan BBM dan listrik untuk beberapa bulan, menunggu keresahan
masyarakat reda? Di sini pemerintah salah membaca isi dari kesepakatan
dengan IMF, karena IMF menganjurkan penghapusan subsidi secara bertahap
dan tidak secara mendadak. Dalam suplemen program IMF April 1998
disebutkan bahwa subsidi masih bisa diberikan kepada beberapa jenis
barang yang banyak dikonsumsi oleh penduduk berpenghasilan rendah
seperti bahan makanan, BBM dan listrik. Dalam situasi sekarang hampir
tidak ada peluang untuk meningkatkan pajak. Baru pada tanggal 1 Oktober
1998 direncanakan subsidi akan diturunkan secara berarti. (butir 10 dan
11 dari Suplemen). Subsidi untuk bahan pangan, BBM dan listrik sudah
diperhitungkan dan dinaikkan dalam anggaran pemerintah (butir 20 dari
Suplemen). Membengkaknya subsidi ini disebabkan oleh beberapa faktor,
seperti kinerja yang kurang efisien, tagihan listrik dalam jumlah besar
yang tidak dibayar, tetapi sebab utama karena merosotnya nilai tukar
rupiah. Jadi tindakan yang pokok adalah pertama mengembalikan dulu nilai
rupiah ke tingkat yang wajar dan dari sini baru menghitung besarnya
subsidi. Tidak bisa biaya produksi dihitung atas dasar nilai tukar
dengan dollar AS yang masih relatif tinggi lalu dibebankan kepada
konsumen, sementara pendapatan masyarakat adalah dalam rupiah yang tidak
berubah sejak sebelum terjadinya krisis moneter, kalau tidak menurun
dan banyaknya PHK. Keadaan ini tidak sebanding, kita harus melihat
sebab-sebab lain di balik kenaikan biaya produksi. Halnya akan lain,
bila pendapatan masyarakat dalam rupiah juga ikut naik dua atau tiga
kali lipat sesuai dengan kenaikan nilai tukar dollar AS, seperti orang
asing yang tinggal di Indonesia misalnya.
Dalam
kaitan ini perlu dipertanyakan, siapa yang menjadi penyebab dari
terjadinya krisis yang berkepanjangan ini, sehingga nilai tukar valas
naik sangat tinggi dan siapa yang menarik keuntungan dari krisis ini?
Janganlah rakyat banyak diminta untuk berkorban mengatasi krisis ini
atau membebankan di atas penderitaan rakyat dengan misalnya menaikkan
harga BBM dan tarif listrik.
Di
antara saran-saran IMF juga ada yang mengenai perluasan penyertaan
modal asing dalam kegiatan ekonomi Indonesia yang terlalu jauh. Modal
asing sudah diberi peluang yang cukup besar untuk investasi di Indonesia
dengan diperbolehkannya kepemilikan hingga 100% baik untuk pendirian
PMA, bank asing maupun penguasaan saham dari perusahaan-perusahaan yang
telah go public, kecuali saham bank nasional yang go public. Meskipun
demikian IMF masih meminta dihapuskannya larangan membuka cabang bagi
bank asing, izin investasi di bidang perdagangan besar dan eceran, dan
liberalisasai perdagangan yang jauh lebih liberal dari komitmen resmi
pemerintah di forum WTO, AFTA dan APEC. Masalahnya bukan sentimen
nasionalisme, tetapi apa sumbangan dari keterbukaan ini terhadap
restrukturisasi ekonomi dari program IMF, stabilisasi ekonomi dan
moneter, dan apa sumbangannya terhadap pemasukan modal asing? Bukan
masalah anti asing atau sentimen nasionalisme yang sempit, tetapi apa
salahnya bila pemerintah menyisakan bidang kegiatan untuk pengusaha
Indonesia, terutama yang bermodal kecil? Apa permintaan IMF ini tidak
terlalu jauh? Kedengarannya seperti IMF menerima titipan pesan sponsor
dari negara-negara besar yang ingin memaksakan kepentingannya dengan
menggunakan kesempatan dalam kesempitan. (Bandingkan juga Sri Mulyani:
72-3).
Saran
IMF lainnya yang disisipkan dalam persetujuan dan tidak ada kaitannya
dengan program stabilisasi ekonomi dan moneter adalah desakannya untuk
menyusun Undang- Undang Lingkungan Hidup yang baru (butir 50 dari
persetujuan IMF tanggal 15 Januari 1998). Ikut campurnya IMF dalam
penyelesaian utang swasta adalah sangat baik, karena IMF sebagai lembaga
yang disegani bisa banyak membantu memulihkan kepercayaan kreditor luar
negeri, yang akan memperlancar dan mempercepat proses penyelesaian
utang. IMF bisa bertindak sebagai perantara yang netral dan dipercaya.
BAB III
PENUTUP
Demikian
makalah yang dapat kita sajikan mengenai materi yang menjadi pokok
bahasan dalam makalah ini, tentunya masih banyak kekurangan dan
kelemahannya, karena terbatasnya pengetahuan dan kurangnya referensi
yang ada hubungannya dengan judul makalah ini. Kami sangat membutuhkan
kritik dan saran yang membangun, demi sempurnanya makalah ini. Semoga
makalah ini berguna bagi penulis pada khususnya juga para pembaca.
Kami ucapkan terimakasih.
KESIMPULAN
Krisis
moneter yang terjadi di Indonesia yang mengakibatkan menurunnya
perekonomian Indonesia ternyata disebabkan pula oleh musibah yang
terjadi di Indonesia itu sendiri. Banyak sekali musibah yang terjadi
didalam negeri hingga mengakibatkan penurunan perekonomian Indonesia.
Inflasi pun merupakan salah satu factor terjadinya krisis tersebut.
Dampak yang ditimbulkan dari krisis moneter kebanyakan berdampak
negative bagi perekonomian Indonesia yang hingga kini masih terasa.
Serta dampaknya langsung berpengaruh kepada rakyat Indonesia. IMF pun
berperan bagi pemulihan Perekonomian Indonesia akibat adanya krisis
moneter yang terjadi.
DAFTAR PUSTAKA
Anwar,
Moh. Arsjad. 1997. “Transformasi Struktur Perekonomian Indonesia: Pola
dan Potensi”, dalam: M. Pangestu, I. Setiati (penyunting), Mencari
Paradigma Baru Pembangunan Indonesia, Jakarta: CSIS, hal. 33-48.
· Bank Indonesia. 1998. “Financial Crisis in Indonesia”, Jakarta, August.
· Bello, W. 1998. “Mencari Solusi Alternatif untuk Mengatasi Krisis”, saduran, Jakarta: Kompas, 1 September, hal. 3.
· Ehrke, M.1998. “Pangloss oder die beste aller moeglichen Welten, Ursachen und
· Auswirkungen der Asienkrise”, Bonn: Friedrich Ebert Stiftung, Februari.
· Fischer, S. 1998a. “IMF dan Krisis Asia”, Kompas, Jakarta, 6 April.
· ________. 1998b. “Peranan IMF Saat Krisis”, Kompas, Jakarta, 8 April.
· ________.
1998c. “The Asian Crisis and the Changing Role of the IMF”, Washington,
D.C.: Finance & Development, Vol. 35 No. 2, June, pp. 2-5.
· Greenwood, J. 1997. “The Lessons of Asia’s Currency Crisis”, Hong Kong: The Asian Wall Street Journal, 9 Oktober, hal. 6.
· Gunawan, A.H., Sri Mulyani I.. 1998. “Krisis Ekonomi Indonesia dan Reformasi (Makro)
· Ekonomi”,
makalah pada Simposium Kepedulian Universitas Indonesia Terhadap
Tatanan Masa Depan Indonesia”, Kampus UI, Depok, 30 Maret - 1 April.
· http://www.chynsoncomputer.com/krisis-moneter/index.php
Tidak ada komentar:
Posting Komentar