BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Tanggal
15 September 2008 menjadi catatan kelam sejarah perekonomian Amerika
Serikat, kebangkrutan Leman Brothers yang merupakan salah satu
perusahaan investasi atau bank keuangan senior dan terbesar ke 4 di
Amerika serikat menjadi awal dari drama krisis keuangan di negara yang
mengagung-agungkan sistem kapitalis tanpa batas. Siapa yang menyangka
suatu negara yang merupakan tembok kapitalis dunia akan runtuh
.Celakanya apa yang terjadi di Amerika Serikat dengan cepat menyebar dan
menjalar keseluruh dunia. Hanya beberapa saat setelah informasi
runtuhnya pusat keuangan dunia di Amerika, transaksi bursa saham
diberbagai belahan dunia seperti Hongkong, China, Australia, Singapura,
Korea Selatan, dan Negara lainnya mengalami penurunan drastis, bahkan
Bursa Saham Indonesia (BEI) harus disuspend selama beberapa hari,
pemerintah Indonesia pun kelihatan panik dalam menyikapi permasalahan
ini, peristiwa ini menandai fase awal dirasakannya dampak krisis ekonomi
global yang pada mulanya terjadinya di Amerika dirasakan oleh negara
Indonesia.
Dilihat
dari faktor penyebabnya, krisis Ekonomi global pada saat ini berbeda
dengan krisis ekonomi yang melanda Indonesia lebih kurang satu dasawarsa
lalu, yang mana pada saat itu krisis ekonomi yang melanda Indonesia
lebih disebabkan oleh ketidakmampuan Indonesia menyediakan alat
pembayaran luar negeri, dan tidak kokohnya struktur perekonomian
Indonesia, tetapi krisis keuangan global pada tahun 2008 ini berasal
dari faktor-faktor yang terjadi di luar negeri. Tetapi kalau kita tidak
hati-hati dan waspada dalam menyikapi permasalahan ini, tidak mustahil
dampak krisis keuangan global pada tahun 2008 ini akan sama atau bahkan
lebih buruk jika dibandingkan dengan dampak dari krisis ekonomi yang
terjadi pada tahun 1998.
Perlambatan
pertumbuhan ekonomi dunia, selain menyebabkan volume perdagangan global
pada tahun 2009 merosot tajam, juga akan berdampak pada banyaknya
industri besar yang terancam bangkrut, terjadinya penurunan kapasitas
produksi, dan terjadinya lonjakan jumlah pengangguran dunia. Bagi
negara-negara berkembang dan emerging markets, situasi ini dapat merusak
fundamental perekonomian, dan memicu terjadinya krisis ekonomi.
Kekhawatiran atas dampak negatif pelemahan ekonomi global terhadap perekonomian di negara-negara emerging markets dan fenomena flight to quality dari investor global di
tengah krisis keuangan dunia dewasa ini, telah memberikan tekanan pada
mata uang seluruh dunia, termasuk Indonesia dan mengeringkan likuiditas
dolar Amerika Serikat di pasar domestik banyak negara. Hal ini
menyebabkan pasar valas di negara-negara maju maupun berkembang
cenderung bergejolak di tengah ketidakpastian yang meningkat.
Sebagai
negara dengan perekonomian terbuka, meskipun Indonesia telah membangun
momentum pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, tidak akan terlepas dari
dampak negatif perlemahan ekonomi dunia tersebut. Krisis keuangan
global yang mulai berpengaruh secara signifikan dalam triwulan III tahun
2008, dan second round effectnya akan mulai dirasakan
meningkat intensitasnya pada tahun 2009, diperkirakan akan berdampak
negatif pada kinerja ekonomi makro Indonesia dalam tahun 2009 baik di
sisi neraca pembayaran dan neraca sektor riil, maupun sektor moneter dan
sektor fiskal (APBN).
Dampak
negatif yang paling cepat dirasakan sebagai akibat dari krisis
perekonomian global adalah pada sektor keuangan melalui aspek sentimen
psikologis maupun akibat merosotnya likuiditas global. Penurunan indeks
harga saham di Bursa Efek Indonesia (BEI) mencapai sekitar 50,0 persen,
dan depresiasi nilai tukar rupiah disertai dengan volatilitas yang
meningkat. Sepanjang tahun 2008, nilai tukar rupiah telah terdepresiasi
sebesar 17,5 persen. Kecenderungan volatilitas nilai tukar rupiah
tersebut masih akan berlanjut hingga tahun 2009 dengan masih
berlangsungnya upaya penurunan utang (deleveraging) dari lembaga keuangan global.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Krisis Ekonomi Global
Seluruh dunia telah diliputi oleh krisis financial (krisis ekonomi global),
seluruh negara-negara di dunia baik itu negara maju maupun negara
berkembang telah terjebak dalam kesulitan yang sangat rumit. Beberapa
negara yang sebelumnya menikmati kondisi ekonomi yang kuat yang
mempunyai teknologi yang canggih dalam hal ilmu pengetahuan, pangan,
senjata, obat-obatan terlihat hancur perekonomiannnya. Fakta dari
masalah tersebut adalah bahwa ekonomi negara-negara tersebut ditopang
oleh kebijakan yang sangat rapuh yang meyebabkan collaps terkena dampak
krisis ekonomi global.
Krisis
finansial global yang menyebabkan menurunnya kinerja perekonomian dunia
secara drastis pada tahun 2008 diperkirakan masih akan terus berlanjut,
bahkan akan meningkat intensitasnya pada tahun 2009. Perlambatan
pertumbuhan ekonomi dunia, selain menyebabkan volume perdagangan global
pada tahun 2009 merosot tajam, juga akan berdampak pada banyaknya
industri besar yang terancam bangkrut, terjadinya penurunan kapasitas
produksi, dan terjadinya lonjakan jumlah pengangguran dunia. Bagi
negara-negara berkembang dan emerging markets, situasi ini dapat merusak
fundamental perekonomian, dan memicu terjadinya krisis ekonomi.
Kekhawatiran atas dampak negatif pelemahan ekonomi global terhadap perekonomian di negara-negara emerging markets dan fenomena flight to quality dari investor global di
tengah krisis keuangan dunia dewasa ini, telah memberikan tekanan pada
mata uang seluruh dunia, termasuk Indonesia dan mengeringkan likuiditas
dolar Amerika Serikat di pasar domestik banyak negara. Hal ini
menyebabkan pasar valas di negara-negara maju maupun berkembang
cenderung bergejolak di tengah ketidakpastian yang meningkat.
Sebagai
negara dengan perekonomian terbuka, meskipun Indonesia telah membangun
momentum pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, tidak akan terlepas dari
dampak negatif perlemahan ekonomi dunia tersebut. Krisis keuangan
global yang mulai berpengaruh secara signifikan dalam triwulan III tahun
2008, dan second round effectnya akan mulai dirasakan
meningkat intensitasnya pada tahun 2009, diperkirakan akan berdampak
negatif pada kinerja ekonomi makro Indonesia dalam tahun 2009 baik di
sisi neraca pembayaran dan neraca sektor riil, maupun sektor moneter dan
sektor fiskal (APBN).
Dampak
negatif yang paling cepat dirasakan sebagai akibat dari krisis
perekonomian global adalah pada sektor keuangan melalui aspek sentimen
psikologis maupun akibat merosotnya likuiditas global. Penurunan indeks
harga saham di Bursa Efek Indonesia (BEI) mencapai sekitar 50,0 persen,
dan depresiasi nilai tukar rupiah disertai dengan volatilitas yang
meningkat. Sepanjang tahun 2008, nilai tukar rupiah telah terdepresiasi
sebesar 17,5 persen. Kecenderungan volatilitas nilai tukar rupiah
tersebut masih akan berlanjut hingga tahun 2009 dengan masih
berlangsungnya upaya penurunan utang (deleveraging) dari lembaga keuangan global.
Krisis keuangan Amerika Serikat menyebabkan masalah global keuangan dunia, untuk mengatasi hal tersebut Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah mengeluarkan sepuluh arahan:
(1) Semua kalangan tetap optimis, dan bersinergi menghadapi krisis keuangan
(2) Tetap pertahankan nilai pertumbuhan enam persen
(3) Optimalisasi APBN 2009
(4) Dunia usaha khususnya sektor riil harus tetap bergerak
(5) Semua pihak agar cerdas menangkap peluang
(6) Galakkan kembali penggunaan produk dalam negeri
(7) Tingkatkan sikap profesionalisme
(8) Kerja sama dalam menghadapi masalah
(9) Tidak melakukan langkah non partisan
(10) Komunikasi yang bijak.
(2) Tetap pertahankan nilai pertumbuhan enam persen
(3) Optimalisasi APBN 2009
(4) Dunia usaha khususnya sektor riil harus tetap bergerak
(5) Semua pihak agar cerdas menangkap peluang
(6) Galakkan kembali penggunaan produk dalam negeri
(7) Tingkatkan sikap profesionalisme
(8) Kerja sama dalam menghadapi masalah
(9) Tidak melakukan langkah non partisan
(10) Komunikasi yang bijak.
Sementara itu Mudrajad Kuncoro (2008) mengatakan bahwa setidaknya ada dua langkah strategis dalam mengatasi dampak krisis keuangan global, yaitu Demand pull strategy dan supply push strategy. Demand pull strategy mencakup strategi perkuatan sisi permintaan, yang bisa dilakukan dengan perbaikan iklim bisnis, fasilitasi mendapatkan HAKI (paten), fasilitasi pemasaran domestik dan luar negeri dan menyediakan peluang pasar. Langkah strategis lainnya adalah supply push strategy yang mencakup strategy pendorong sisi penawaran, ini bisa dilakukan dengan ketersediaan bahan baku, dukungan permodalan, bantuan teknologi/mesin/alat, dan peningkatan kemampuan sumber daya manusia.
B. Penyebab Krisis Ekonomi Global
Di
tengah dinamika ekonomi global yang terus-menerus berubah dengan
akselerasi yang semakin tinggi sebagaimana digambarkan di atas,
Indonesia mengalami terpaan badai krisis yang intensitasnya telah sampai
pada keadaan yang nyaris menuju kebangkrutan ekonomi.
Krisis
ekonomi – yang dipicu oleh krisis moneter – beberapa waktu yang lalu,
paling tidak telah memberikan indikasi yang kuat terhadap tiga hal.
Pertama, kredibilitas pemerintah telah sampai pada titik nadir. Penyebab
utamanya adalah karena langkah-langkah yang ditempuh pemerintah dalam
merenspons krisis selama ini lebih bersifat “tambal-sulam”, ad-hoc, dan
cenderung menempuh jalan yang berputar-putar.
Selain
itu, seluruh sumber daya yang dimiliki negeri ini dicurahkan sepenuhnya
untuk menyelamatkan sektor modern dari titik kehancuran. Sementara itu,
sektor tradisional, sektor informal, dan ekonomi rakyat, yang juga
memiliki eksistensi di negeri ini seakan-akan dilupakan dari wacana
penyelamatan perekonomian yang tengah menggema.
Kedua,
rezim Orde Baru yang selalu mengedepankan pertumbuhan (growth) ekonomi
telah menghasilkan crony capitalism yang telah membuat struktur
perekonomian menjadi sangat rapuh terhadap gejolak-gejolak eksternal.
Industri manufaktur yang sempat dibanggakan itu ternyata sangat
bergantung pada bahan baku impor dan tak memiliki daya tahan. Sementara
itu, akibat “dianak-tirikan”, sektor pertanian pun juga tak kunjung
mature sebagai penopang laju industrialisasi. Yang saat itu terjadi
adalah derap industrialisasi melalui serangkaian kebijakan yang
cenderung merugikan sektor pertanian. Akibatnya, sektor pertanian tak
mampu berkembang secara sehat dalam merespons perubahan pola konsumsi
masyarakat dan memperkuat competitive advantage produk-produk ekspor
Indonesia.
Satu
faktor terpenting yang bisa menjelaskan kecenderungan di atas adalah
karena proses penyesuaian ekonomi dan politik (economic and political
adjustment) tidak berlangsung secara mulus dan alamiah. Soeharto-style
state-assisted capitalism nyata-nyata telah merusak dan merapuhkan
tatanan perekonomian. Memang di satu sisi pertumbuhan ekonomi yang telah
dihasilkan cukup tinggi, namun mengakibatkan ekses yang ujung-ujungnya
justru counter productive bagi pertumbuhan yang berkelanjutan.
Ketiga,
rezim yang sangat korup telah membuat sendi-sendi perekonomian
mengalami kerapuhan. Secara umum, segala bentuk korupsi akan
mengakibatkan arah alokasi sumber daya perekonomian menjurus pada
kegiatan-kegiatan yang tidak produktif dan tidak memberikan hasil
optimum. Dalam kondisi seperti ini pertumbuhan ekonomi memang sangat
mungkin terus berlangsung, bahkan pada intensitas yang relatif tinggi.
Namun demikian, sampai pada batas tertentu pasti akan mengakibatkan
melemahnya basis pertumbuhan.
Selanjutnya,
praktik-praktik korupsi secara perlahan tapi pasti telah merusak
tatanan ekonomi dan pembusukan politik yang disebabkan oleh perilaku
penguasa, elit politik, dan jajaran birokrasi. Keadaan semakin parah
ketika jajaran angkatan bersenjata dan aparat penegak hukum pun ternyata
juga turut terseret ke dalam jaringan praktik-praktik korupsi itu.
Hancurnya
kredibilitas pemerintah yang dibarengi dengan tingginya ketidakpastian
itu telah menyebabkan terkikisnya kepercayaan (trust). Yang terjadi
dewasa ini tidak hanya sekadar pudarnya trust masyarakat terhadap
pemerintah dan sebaliknya, melainkan juga antara pihak luar negeri
dengan pemerintah, serta di antara sesama kelompok masyarakat. Yang
terakhir disebutkan itu tercermin dengan sangat jelas dari keberingasan
massa terhadap simbol-simbol kekuasaan serta kemewahan dan terhadap
kelompok etnis Cina, seperti yang dikenal dengan peristiwa Mei 1998.
Sementara
itu, krisis kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dapat dilihat
dari respons masyarakat yang kerap kali berlawanan dengan tujuan
kebijakan yang ditempuh pemerintah. Misalnya, kebijakan pemerintah yang
seharusnya berupaya menggiring ekspektasi masyarakat ke arah kanan,
justru telah menimbulkan respons masyarakat menuju ke arah kiri, dan
sebaliknya. Faktor lainnya adalah semakin timpangnya distribusi
pendapatan dan kekayaan, sehingga mengakibatkan lunturnya solidaritas
sosial.
C. Dampak Yang Ditimbulkan Oleh Krisis Ekonomi Global
Dampak Perekonomian Global terhadap APBNP 2008
Asumsi
inflasi dalam APBNP 2008 yang ditetapkan sebesar 6,5%, menurut
Adiningsih (Ekonom dari Universitas Gajah Mada) dalam harian Suara Karya
(16/4-08), dapat melebihi 10% akibat tekanan berat dari kondisi
perekonomian global yang berada di luar kendali pemerintah. Adiningsih
mengemukakan bahwa seharusnya pemerintah menyusun APBN secara konsevatif
, karena apabila APBN dirubah terus, tentu akan menimbulkan
ketidakpercayaan masyarakat. Dia juga mengungkapkan bahwa dunia usaha
juga tergantung pada pengelolaan dan realisasi APBN. Apabila APB tidak
konsisten, dipastikan dunia usaha akan sulit tumbuh, sehinga sulit
diharapkan pertumbuhan ekonomi yang tiggi. Mengenai besaran asumsi
inflasi dalam APBNP, menurutnya tidak masuk akal, karena pada akhir
tahun 208 terdapat beberapa hari raya yang sudah pasti akan memicu
inflasi lebih tinggi. Disamping itu harga minyak mentah yang masih akan
melambung dan harga pangan dunia yang meroket. Hal ini akan mempengaruhi
harga komoditias di dalam negeri. Tidak semua komoditas dapat
dikendalikan oleh pemerintah. Tambahan lagi, banyak barang impor
termasuk yang illegal masuk ke ke pasar Indonesia. Hinga akhir tahun ini
diperkirakan gejolak pasar Keuangan dunia belum akan reda. Seandainya
Amerika Serikat meningkatkan suku bunga kredit, akan berdampak terhadap
Indonesia dan dikhawatirkan inflasi akan melebihisatudigit.
Dalam
menghadapi situasi perekonomian global yang tidak pasti, Raden Pardede
(salah satu calon gubernur BI yang ditolak DPR) mengemukakan pendapatnya
bahwa pemerintah harus membatasi besaran anggaran untuk subsidi.
Menurutnya, dengan asumsi harga minyak mentah sebesar US$ 95 per barel,
total subsidi mencapai sekitar Rp 33 triliun. Jika harga minyak ternyata
lebih dri U$$ 100 per barel, diperkirakan lebih dari 30% anggaran
belanja habis untuk subsidi, bagaimana dengan sektro yang lain, katanya.
Berkaitan
dengan kekurangan dana dalam APBN pasti dicarikan melalui pembiayaan
yang salah satunya adalah dengan penerbitan Suat Utang Negara (SUN)
disesuaikan dengan melihat kemampuan pasar untuk menyerapnya. Tetapi,
jika subsidi tidak dibatasi, investor akan khawatir mengnenai kemampuan
negara dalam melakukan pembayaran. Hal ini dapat menimbulkan
ketidakpastian dan rendahnya daya serap SUN.
Pendapat
dari kedua pengamat ekonomi tersebut perlu diperhatikan sebagai
informasi untuk mewaspadai bahwa kondisi perkonomian dunia yang saat ini
sedang bergolak penuh ketidak pastian akan berdampak terhadap tingkat
inflasi, alokasi anggaran untuk subsidi dan daya serap SUN untuk
pembiayaan deficit APBN. Namun demikian, apabila dalam perjalanannya
asumsi-asumsi dalam APBNP 2008 meleset jauh dari kenyataan, pengamat
ekonomi tidak seharusnya semata-mata menyalahkan pemerintah, karena
APBN-P 2008 tersebut merupakan hasil pembahasan dan kesepakatan antara
pemerintah dengan DPR. Tambahan lagi, jika asumsi dalam APBNP tidak
sesuai lagi dengan perkembangan kondisi perekonomian, mau tidak mau
APBNP 2008 harus direvisi kembali
D. Cara Mengatasi Krisis Ekonomi Global
Mengatasi
Penyebab dan Dampak Krisis Ekonomi Global masih menjadi berita hangat
tanpa melewati 1 (satu) hari pun dalam bulan-bulan terakhir ini.
Berbicara krisis ekonomi adalah bukan berbicara tentang nasib 1 (satu)
orang bahkan lebih dari itu semua karena ini menyangkut nasib sebuah
bangsa. Berbagai argument dan komentar pun dilontarkan di berbagai media
yang selalu memojokkan pemerintahan Yudhoyono dan BI (Bank Indonesia)
Di salah satu media menyatakan bahwa Presiden Yudhoyono menyampaikan 10
langkah untuk menghadapi masalah tersebut. Empat di antaranya:
1. Meningkatkan penggunaan produksi dalam negeri
2. Memanfaatkan peluang perdagangan internasional
3. Menyatukan langkah strategis Pemerintah dengan Bank Indonesia (BI)
4. Menghindari politik non partisan untuk menghadapi krisis.
Kedengarannya memang masuk akal tapi untuk menghadapi krisis itu
bukanlah semata adalah tugas pemerintah dan Bank Indonesia tapi badai
krisis ini perlu dihadapi bersama jangan sampai kejadian Krisis Ekonomi
Global Part II ini lebih dahsyat meluluh-lantakkan Perekonomian
Indonesia seperti yang telah terladi pada Badai Krisis Moneter Part I di
Era Soeharto.
Sadar
atau pun tidak sadar Akibat Krisis Ekonomi Global kali in sudah sangat
jauh merambah dalam berbagai strata masyarakat. Dimana-mana pengangguran
semakin bertambah Income perkapita drastis menurun karena beberapa
industri mulai merampingkan tenaga-kerja atau mulai meliburkan tenaga
kerja tanpa batas waktu. Senada dengan hal itu investor-investor lokal
dan Asing pun mulai menarik saham dalam industri-industri di Indonesia.
Dari kejadian kejadian itu akan menjadikan peluang untuk Angka
Kriminalitas akan melonjak naik Grafiknya di tanah air belum lagi
kasus-kasus korupsi terbaikan karena bangsa ini telah disibukkan dengan
masalah yang lebih di prioritaskan sehingga dengan bebasnya para
koruptor meneruskan aksinya ditiap jenjang. “Selamat buat para koruptor
Anda bisa keluar dari persembunyain untuk sementara Waktu. How pity a
Country !”
Memang
sangat Ironis di satu sisi Indonesia yang dikenal sebagai negara
Agraris tapi disisi lain beberapa item bahan pokok masih mengandalkan
hasil import dari negara tetangga. Yah ini mungkin salah satu kelemahan
dari bangsa kita bahkan diri kita yang sebagai rakyat yang kurang
berusaha secara profesional dalam mengelola asset-asset yang ada dalam
lahan-lahan indonesia. Lihat saja kekayaan Alam Indonesia mulai dari
hasil laut belum dapat dikelola dengan baik karena Fasilitas-fasilitas
nelayan kurang memadai sehingga negara-negara lain meraup keuntungan
dari hasil menangkap hasil laut dengan cara yang tidak fair. Belum lagi
persediaan minyak yang semakin lama semakin menipis serta
Tambang-tambang Emas yang masih dikuasai negara asing. Jadi sangat
disayangkan Punya Harta yang sangat berlimpah ruah tapi tidak dapat
dinikmati secara maksimal oleh bangsa ini.
Jadi
memanglah pas ketika Ketua Presidium Persatuan Alumni Gerakan Mahasiswa
Nasional Indonesia (GMNI ) menyatakan bahwa Krisis ekonomi global telah
terjebak pada sistem kapitalisme internasional sehingga sampai saat ini
sepertinya tak ada persiapan jelas menghadapi krisis keuangan global
yang berawal dari runtuhnya industri keuangan di Amerika Serikat. Mereka
yang krisis kita yang ”hancur-hancuran” seperti pada bursa saham
sehingga menghentikan operasionalnya.
Dan
kesimpulannya Indonesia belum siap menghadapi Dampak Krisis Ekonomi
Global yang di motori oleh Negara Super itu. Mungkin dari beberapa
uraian diatas dapat memberi gambaran bahwa kita punya potensi menghadapi
krisis ini jika kita meningkatkan kesadaran sebagai masyarakat
indonesia termasuk element pemerintah berikut departement terkait untuk
meningkat pengelolaan sumber daya secara profesional sehingga
bangsa ini menjadi produktif dalam penyediaan hasil bumi dan dapat
mandiri serta terbebas sebagai negara importir bahan pangan dan minyak
bumi terbesar yang akan membalikkan keadaan menjadi negara “Pengekspor
Terbesar”.
E. Indonesia dan Perekonomian
1. Ekonomi Indonesia
Thomas
R. Rumbaugh, Division Chief IMF untuk kawasan Asia Pasifik, mengatakan
performa ekonomi RI selama kuartal 1/2009 dengan catatan laju PDB
sebesar 4,4%, menjadi salah satu pertanda kuatnya perekonomian Indonesia
dalam situasi krisis. Beliau mengungkapkan bahwa, dengan melihat itu,
revisi ke atas proyeksi laju ekonomi Indonesia, sekarang laju PDB dapat
tumbuh pada kisaran 3%-4% tahun ini.
Dalam
laporan World Economic Outlook yang dirilis dana moneter Internasional
itu pada April, pertumbuhan ekonomi Indonesia 2009 diproyeksikan 2,5%,
terendah dibandingkan dengan proyeksi lembaga penelitian dan
multilateral lain. Adapun pemerintah Indonesia mematok proyeksi PDB
tahun ini pada kisaran 4%-4,5%. Menurut Rumbaugh, proyeksi baru IMF
dibuat dalam kisaran karena masih ada ketidakpastian dalam situasi
perekonomian dunia.
Meski
begitu, dana moneter yang berbasis di Washington DC itu memperkirakan
tekanan inflasi 2009 di Indonesia akan terus moderat ke angka sekitar
5%. Di tengah krisis ekonomi dunia, pemerintah dan bank sentral dinilai
telah cukup berhasil dalam melakukan langkah antisipasi dibandingkan
dengan Negara-negara lain.
Dari
sisi kebijakan moneter dan nilai tukar, IMF menilai pemangkasan BI Rate
250 basis poin sejak Desember 2008 sebagai langkah yang tepat. Akan
tetapi, dari sisi fiskal dia mengingatkan pentingnya pemerintah
menggenjot penyerapan belanja langsung stimulus fiskal pada periode
semester II/2009. Pasalnya, kinerja ekonomi kuartal I yang cukup baik
lebih didukung oleh faktor stimulus pemotongan pajak yang telah terserap
dan juga pemilu legislatif.
Syahrial
Loetan, sekretaris Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Sestama
Bappenas, menilai revisi proyeksi laju PDB Indonesia oleh IMF menjadi
lebih baik merupakan pertanda lembaga itu menyadari kesalahan proyeksi
sebelumnya.
Penguatan
arus dan masuk ke pasar modal ikut mengerek nilai tukar rupiah hingga
menembus level Rp9.000 atau menguat 21,5% dari posisi tertinggi pada
November 2008 yang mencapai Rp12.650 per dolar AS. Penggerakan
rupiah untuk pertama kalinya sejak perdagangan Oktober 2008
terapresiasi melampaui Rp10.000 setelah IHSG menguat 8 hari
berturut-turut ke level 2.078,93, atau mencetak rekor kenaikan simultan
terpanjang sejak periode bullish 2007. Indeks secara kumulatif mengumpulkan 187,96 poin atau naik 9,94% dalam 6 hari terakhir, kenaikan itu lebih tinggi dari rally simultan terpanjang 29 Juni-10 Juli pada 2 tahun lalu sebesar 143,1 poin (6,7%).
2. Ekonomi Indonesia dan Demokrasi
Indonesia
saat ini, tulis Boediono, masih berada pada zona resiko tinggi untuk
kehidupan demokrasi. Hal ini terlihat dari segi pendapatan per kapitanya
yang masih kurang mendukung terselenggaranya demokrasi secara baik.
Dengan pendapatan per kapita sekitar US$3.987 (International Monetary
Fund, 2008) GDP Purshasing Power Parity (PPP) per kapita Indonesia masih
berada bahkan di bawah negara-negara seperti Vanuatu dan Fiji,
Indonesia masih berada di zona rawan dalam demokrasik. Kenapa? Menurut
penelitian, batas kritis bagi kelangsungan demokrasi di dunia adalah
apabila pendapatan per kapita sebuah Negara mencapai US$6.600.
Dari
sebuah studi ekonomi dan demokrasi, tercatat bahwa pada kurun
1950-1990, rezim demokrasi di Negara-negara dengan penghasilan per
kapita US$1.500 (dihitung berdasarkan PPP tahun 2001) hanya mempunyai
harapan hidup 8 tahun. Pada tingkat penghasilan per kapita
US$1.500-US$3.000, rezim demokrasi dapat bertahan rata-rata 18 tahun dan
pada tingkat pendapatan per kapita di atas US$6.000, daya hidup system
demokrasi di sebuah Negara jauh lebih besar dan probabilitas
kegagalannya hanya 1:500.
Posisi Indonesia
Dengan
pendapatan per kapita Indonesia yang diperkirakan sekitar US$4.000,
dimana batas krisis bagi demokrasi sekitar US$6.600, maka Indonesia
belum mencapai 2/3 jalan menuju batasan bagi demokrasi. Oleh karena itu,
menurut Boediono, pada tahap awal kehidupan demokrasi, Indonesia
sebaiknya memberikan prioritas tertinggi bagi upaya memacu pertumbuhan
ekonomi dan sejauh mungkin menghindari krisis. Hal ini akan sangat
mengurangi resiko kegagalan demokrasi. Hal terbaik yang harus dilakukan,
kata Boediono, adalah secepatnya membangun perekonomian agar income per
kapita bangsa Indonesia mencapai batas aman bagi pemerintah demokrasi,
yaitu US$6.600.
Menurut
Boediono, pertumbuhan ekonomi akan membantu tumbuhnya kelompok
pembaharu dengan catatan: pertama, pertumbuhan itu menyentuh dan
broad-based; dan kedua prosesnya mengandalkan kegiatan berdasarkan hasil
kerja, inisiatif, dan kekuatan sumber daya manusia—bukan dengan
penjualan kekayaan alam, utang luar negeri, dan “rezeki nomplok”
lainnya.
3. Indonesia Cepat Lalui Krisis
Menurut Institute for Management Development (IMD), lembaga think thank dan
pendidikan yang berpusat di Swiss, Indonesia seperti Negara-negara lain
di Asia Tenggara, memiliki daya tahan yang cukup baik. Indonesia juga
dianggap memiliki kemampuan untuk pulih dengan cepat karena telah
mengalami krisis keuangan cukup parah pada 1997/1998 sehingga lebih baik
dalam mengantisipasi krisis saat ini. IMD mengatakan bahwa,
Negara-negara seperti itu seringkali mampu untuk beradaptasi dan pulih
pada masa sulit. Penjelasan lain adalah karena mereka telah mengalami
krisis keuangan cukup parah dan krisis properti satu decade lalu dan
jadi lebih waspada dalam kebijakannya.
Stress test versi
IMD merupakan analisis untuk mengukur sejauh mana Negara dapat melalui
krisis dan memperbaiki daya saingnya pada masa depan. Analisis dengan
cakupan survey 57 negara itu mengambil Indikator proyeksi ekonomi,
pemerintah, bisnis, dan masyarakat sebagai basis penilaiannya. Dari
empat faktor yang dinilai dalam stress test, daya tahan
Indonesia untuk indikator pemerintah berada di peringkat-26. Adapun
indikator lain seperti proyeksi ekonomi, bisnis dan masyarakat,
masing-masing masuk ke posisi 33,36, dan 33.
Mentri Koordinator bidang Perekonomian Sri Mulyani Indrawati optimis peringkat stress test Indonesia
akan lebih baik pada tahun depan karena survey IMD dilakukan terhadap
indicator ekonomi sepanjang 2008, ketika negeri ini masih diliputi
dampak krisis cukup parah. Kenyataannya, katanya, kinerja perekonomian
pada kuartal I/2009 dan proyeksi ekonomi RI sepanjang tahun ini lebih
baik dibandingkan dengan Megara-negara lain.
Perekonomian
Indonesia pada kuartal II/2009 diproyeksi sedikit melambat dibandingkan
dengan kuartal sebelumnya, kendati secara tahunan diyakini masih akan
tumbuh 4%. Direktur Perencanaan Makro Kemeneg PPN/Kepala Bappenas
Bambang Prijambodo secara pribadi meyakini pertumbuhan ekonomi pada
kuartal II/2009 masih akan positif meski tidak sebesar realisasi kuartal
I/2009 yang mencapai 1,6%. Secara tahunan (year-on-year) juga
demikian, dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi kuartal I/2009 yang
sebesar 4,4%, kemungkinan realisasi pada kuartal II/2009 lebih rendah di
kisaran 4,4%. Konsumsi masyarakat masih akan menjadi pendorong utama
dari pertumbuhan ekonomi kuartal II/2009 yang masih terjaga dengan
adanya laksana pemilihan umum. Ekonom Indef Ikhsan Modjo, mengatakan
pertumbuhan ekonomi kuartal II/2009 kemungkinan akan turun sedikit
karena ekspor dan investasi masih lemah.
4. Kebijakan Moneter Belum Cukup Longgar
Seiring
dengan semakin terkendalinya tekanan inflasi, BI sudah menurunkan bunga
acuannya dengan agresif. Pada November 2008, suku bungan acuan BI masih
di level 9,5 persen. Bulan Juni ini suku bunga acuan BI sudah turun ke 7
persen. Ini adalah level terendah dalam sejarah suku bunga acuan BI.
Sudah barang tentu langkah BI menurunkan suku bunga dengan agresif
tersebut disambut baik oleh banyak pihak. Penurunan suku bunga acuan BI
diperkirakan akan diikuti oleh bunga-bunga yang lain, termasuk bunga
pinjaman. Namun, harapan itu tak kunjung terwujud. Banyak kalangan yang
merasa kecewa melihat kenyataan yang ada. Suku bunga pinjaman tidak
turun secepat yang diharapkan.
Dengan
suku bunga acuan BI pada level 7 persen, seharusnya suku bunga pinjaman
berada pada kisaran 11,9-12 persen. Angka suku bunga pinjaman itu
dihitung berdasarkan respons sistem perbankan negeri ini terhadap
kebijakan moneter BI periode 2006-2008. Saat ini bunga pinjaman masih
ada yang bertahan di atas 16 persen.
Dampak
dari belum turunnya bunga pinjaman secara signifikan, sector riil kita
menjerit meminta suku bunga pinjaman diturunkan dengan segera. Memang
bunga yang tinggi membuat biaya bunga (cost of capital) menjadi
tinggi. Hal ini juga membuat produk domestic sulit bersaing dengan
produk Negara-negara lain yang bunga pinjamannya jauh lebih rendah dari
bunga pinjaman disini. Daya saing produk kita pun tergerus dan sector
manufaktur kita menjadi sulit untuk tumbuh lebih cepat.
Di Indonesia, misalnya, BI mengurangi monetary base dengan
cara menerbitkan sertifikat Bank Indonesia (SBI). Penerbitan SBI akan
mengurangi uang dari system perekonomian kita karena bank yang membeli
SBI akan menyetorkan uang ke BI sebesar SBI yang dibelinya. Uang yang
diterima BI tersebut akan disimpan di BI sehingga ada uang yang menjadi
tidak dapat digunakan oleh perbankan kita. Suplai uang di system
financial kita pun menjadi berkurang.
Bila
dilihat dari suku bunga saja, BI memang tampak agresif melonggarkan
kebijakan moneternya. Namun, kalau dilihat dari sisi suplai uang,
kebijakan moneter BI sebenarya masih kurang ekspansif. Hal itu
diperlihatkan dari monetary base yang tidak tumbuh, bahkan
pertumbuhannya negative dalam beberapa bulan terakhir ini. Itu berarti
BI tidak memompa cukup uang ke system agar suplai uang meningkat.
Salah satu penyebab terjadinya pertumbuhan monetary base negative
adalah terjadinya arus modal keluar pada Oktober 2008 yang menyebabkan
rupiah melemah secara signifikan waktu itu. Tampaknya BI melakukan
intervensi dengan menjual dollarnya atau menyerap rupiah dari pasar. Hal
ini mengakibatkan berkurangnya suplai uang di system finansial kita.
Kenaikan itu diperburuk pula oleh kenaikan SBI outstanding (total
jumlah SBI yang ada) sejak Oktober 2008, yang berarti BI menarik
likuiditas dari system finansial kita lebih banyak lagi.
SBI outstanding terus mengalami kenaikan sejak saat itu. Pada September 2008 SBI outstanding berjumlah sekitar Rp 116 Triliun. Pada Juni 2009, SBI outstanding sudah
naik menjadi sekitar Rp. 239 triliun. Pada saat bersamaan,
keterlambatan realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)
juga turut memperburuk keadaan. Akibatnya, pendapatan pemerintah dari
pajak ataupun dari surat utang Negara (SUN) tertahan di BI. Pada
Januari 2009 jumlah uang pemerintah di rekening pemerintah di BI Rp. 104
triliun. Jumlah ini meningkat menjadi Rp. 187 triliun yang ditarik
keluar dari system finansial kita pada periode tersebut.
5. Sektor Perbankan
Direktur
Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan Bank Indonesia Halim
Alamsyah mengatakan angka sementara kredit bulan kelima tahun ini
menunjukkan tanda-tanda kenaikan walaupun belum secepat tahun lalu.
Berdasarkan catatan bisnis, Halim pernah menyampaikan
pertumbuhan kredit dalam 4 bulan pertama tahun ini hanya naik Rp.5
triliun. Artinya dalam sebulan realisasi kredit perbankan rata-rata
hanya naik Rp. 1,25 triliun. Dengan realisasi kredit Mei sebesar
Rp.3 triliun berarti ada peningkatan hamper tiga kali lipat dibandingkan
dengan rata-rata 4 bulan sebelumnya, sehingga pembiayaan perbankan
dalam 5 bulan ini tumbuh sekitar Rp. 8 triliun.
Total
kredit perbankan hingga Mei menjadi Rp. 1.361,6 triliun—termasuk
pembiayaan penerusan. Namun, angka itu masih tercatat menurun jika
dibandingkan dengan posisi November 2008 yang pernah mencapai titik
puncak sebesar Rp. 1.371,9 triliun. Halim menyampaikan kondisi
likuiditas perbankan masih belum banyak berubah dibandingkan dengan
posisi April, tapi secara tahunan dana pihak ketiga masih tumbuh
17%-18%. Dengan pertumbuhan sebesar 18% apabila dibandingkan dengan
posisi Mei 2008 sebesar Rp. 1.505,6 triliun, dana pihak ketiga perbankan
saat ini menjadi Rp. 1.776,6 triliun. Namun angka itu menyusut jika
dibandingkan Maret 2008 yang sebesar Rp. 1.786 triliun.
6. Rasio Utang RI Turun 30%
Pada
1999 rasio utang Indonesia 100% karena saat itu pemerintah harus
mengeluarkan surat utang baru sekitar Rp. 600 triliun untuk
menyelamatkan perbankan nasional. Setelah itu rasio terus menurun.
Menkeu mengatakan bahwa, semua pemerintahan, mulai dari Presiden Habibi,
Gusdur, Ibu Megawati, hingga sekarang memiliki kebijakan yang sama,
menurunkan rasio utang-utang.
Tahun
2003, rasio utang Indonesia terhadap PDB 61%, memasuki 2008 menjadi 33%
terhadap PDB, dan tahun ini pemerintah berniat menurunkan menjadi 32%.
Total utang pemerintah Indonesia saat ini hingga 29 Mei 2009 mencapai
Rp. 1.700 triliun, yakni pinjaman luar negeri Rp. 732 triliun dan surat
berharga Negara (SBN) Rp. 968 triliun, yaitu pinjaman luar negeri Rp.
730 triliun dan SBN Rp. 906 triliun. Menurut kepala Devisi Advokasi dan
Jaringan dari Forum Lembaga Swadaya Masyarakat Internasional di
Indonesia, Wahyu Susilo
BAB III
PENUTUP
Demikian makalah yang dapat kita sajikan mengenai materi yang menjadi pokok bahasan dalam
makalah ini, tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahannya, karena
terbatasnya pengetahuan dan kurangnya referensi yang ada hubungannya
dengan judul makalah ini. Kami sangat membutuhkan kritik dan saran yang
membangun, demi sempurnanya makalah ini. Semoga makalah ini berguna bagi
penulis pada khususnya juga para pembaca.
Kami ucapkan terimakasih.
KESIMPULAN
Sosok
kerajaan bisnis yang dibangun di atas fondasi semu dan tumpukan utang,
menjadi tidak berdaya menghadapi krisis ekonomi. Sampai titik ini pun,
pemerintah nampaknya belum juga bangkit kesadarannya, bahwa
menyelamatkan sektor modern dengan cara “habis-habisan” (all out dan at
all cost) seperti yang terus dilakukan selama ini mengandung konsekuensi
yang teramat riskan. Pemerintah masih terobsesi dan selalu disugesti
seakan-akan hanya dengan sektor modern itulah bangsa berdaulat ini dapat
kembali bangkit dari keterpurukannya.
Di
luar semua itu, sesungguhnya terdapat kekuatan yang luar biasa yang
justru telah menyelamatkan negeri ini dari kebangkrutannya, yaitu
ekonomi rakyat. Di atas kertas, perekonomian bangsa ini seharusnya sudah
“gulung tikar” sejak angka-angka statistik ekonomi pada periode krisis
(1997-1999) menunjukkan kecenderungan yang terus memburuk. Nyatanya,
kondisi “sekarat” itu hanya terjadi pada sektor-sektor yang memang mampu
tercatat dan terefleksikan dalam angka-angka statistik itu. Di luar
angka-angka itu, yang tidak mampu dicatat oleh sistem statistik yang
ada, sesungguhnya masih menyimpan potensi, kekuatan, dan daya tahan yang
sangat besar.
Akankah
pemerintah masih terus-menerus menutup mata terhadap eksistensi ekonomi
rakyat? Atau akan terus-menerus meyakini wacana yang selalu
digembar-gemborkan oleh para ekonom Neo Klasik bahwa pertumbuhan yang
terjadi saat ini adalah karena sumbangan konsumsi (driven consumption)
orang-orang berduit? Kiranya sejarah telah membuktikan, bahwa memuja dan
memanjakan sektor modern secara “membabi-buta” hanya akan menghasilkan
konklusi akhir yang menyedihkan, yang rasa pahitnya tidak hanya dikecap
oleh sekelompok orang, tetapi seluruh komponen bangsa ini akan turut
merasakannya.
Bila
bangsa ini cukup cerdas untuk menterjemahkan hikmah krisis ekonomi,
secara tidak langsung (blessing in disguise) seharusnya peristiwa
menyakitkan ini justru dapat menjadi pelajaran yang dipetik hikmahnya.
Kesimpulannya, pengabaian (ignoring) eksistensi ekonomi rakyat dan
sektor tradisional sudah tiba saatnya untuk segera dihentikan.
DAFTAR PUSTAKA
· Bisnis Indonesia, 17 Juni 2009 hal 7, “Boediono, demokrasi, dan ekonomi”
· Bisnis Indonesia, 6 Juni 2009 hal 1, “IMF: Ekonomi RI membaik”
· Bisnis Indonesia, 6 Juni 2009 hal 1, “Rupiah Tembus Level 9.000/US$”
· Bisinis Indonesia, 8 Juni 2009 hal 2, “Indonesia Cepat Lalui Krisis”
· Kompas, 15 Juni 2009 hal 21, “Kebijakan Moneter Belum Cukup Longgar”
· Bisnis Indonesia, 3 Juni 2009 hal 4, “Kredit Mulai Tumbuh”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar