GCG dan Perilaku Etika Dalam Profesi
Akuntansi
GCG (Good
Corporate Governance)
Pengertian GCG
Sebagai
sebuah konsep, GCG ternyata tak memiliki definisi tunggal. Komite Cadbury,
misalnya, pada tahun 1992 – melalui apa yang dikenal dengan sebutan Cadbury Report
– mengeluarkan definisi tersendiri tentang GCG. Menurut Komite Cadbury, GCG
adalah prinsip yang mengarahkan dan mengendalikan perusahaan agar mencapai
keseimbangan antara kekuatan serta kewenangan perusahaan dalam memberikan
pertanggungjawabannya kepada para shareholder khususnya, dan stakeholder pada
umumnya. Hal ini dimaksudkan pengaturan kewenangan Direktur, Manajer, Pemagang
Saham, dan pihak lain yang berhubungan dengan perkembangan perusahaan di
lingkungan tertentu.
Centre
for European Policy Studies (CEPS), punya formula lain. GCG papar pusat studi
ini, merupakan seluruh sistem yang dibentuk mulai dari hak (right), proses,
serta pengendalian, baik yang ada di dalam maupun di luar manajemen perusahaan.
Sebagai catatan, hak di sini adalah hak seluruh stakeholder, bukan terbatas
kepada shareholder saja. Hak adalah berbagai kekuatan yang dimiliki stakeholder
secara individual untuk mempengaruhi manajemen. Proses, maksudnya adalah
mekanisme dari hak-hak tersebut. Adapun pengendalian merupakan mekanisme yang
memungkinkan stakeholder menerima informasi yang diperlukan seputar kegiatan
perusahaan.
Sejumlah
negara juga mempunyai definisi tersendiri tentang GCG. Beberapa negara
mendefinisikannya dengan pengertian yang agak mirip walaupun ada sedikit
perbedaaan istilah. Kelompk negara maju (OECD), misalnya mendefinisikan GCG
sebagai cara-cara manajemen perusahaan bertanggungjawab kepada shareholder-nya.
Para pengambil keputusan di perusahaan haruslah dapat dipertanggungjawabkan,
dan keputusan tersebut mampu memberikan nilai tambah bagi shareholder lainnya.
Karena itu fokus utama disini terkait dengan proses pengambilan keputusan dari
perusahaan yang mengandung nilai-nilai transparency, responsibility,
accountability, dan tentu saja fairness.
Sementara
itu, ADB (Asian Development Bank) menjelaskan bahwa GCG mengandung empat nilai
utama yaitu accountability, transparency, predictability dan participation.
Pengertian lain datang dari Finance Committee on Corporate Governance Malaysia.
Menurut lembaga tersebut, GCG merupakan suatu proses serta struktur yang
digunakan untuk mengarahkan sekaligus mengelola bisnis dan urusan perusahaan ke
arah peningkatan pertumbuhan bisnis dan akuntabilitas perusahaan. Adapun tujuan
akhirnya adalah menaikkan nilai saham dalam jangka panjang, tetapi tetap
memperhatikan berbagai kepentingan para stakeholder lainnya.
Di
Indonesia, secara harfiah, governance kerap diterjemahkan sebagai ‘pengaturan’.
Di kalangan pebisnis, istilah GCG diartikan tata kelola perusahaan, meskipun
masih rancu dalam terminologi manajemen. Masih diperlukan kajian untuk mencari
istilah yang tepat dalam bahasa Indonesia yang benar.
Kemudian,
GCG ini didefinisikan sebagai suatu pola hubungan, sistem dan proses yang
digunakan oleh organ perusahaan (BOD, BOC, RUPS) guna memberikan nilai tambah
kepada pemegang saham secara berkesinambungan dalam jangka panjang, dengan
tetap memperhatikan kepentingan stakeholder lainnya, berlandaskan peraturan dan
norma yang berlaku.
Dari
definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa Good Corporate Governance atau GCG
merupakan:
· Suatu
struktur yang mengatur pola hubungan harmonis antara peran dewan Komisaris,
Direksi, Pemegang Saham dan para stakeholder lainnya.
· Suatu
sistem pengecekan, perimbangan kewenangan atas pengandalian perusahaan yang
dapat membatasi munculnya dua peluang : pengelolaan salah dan penyalahgunaan
aset perusahaan.
· Suatu
proses yang transparan atas penentuan tujuan perusahaan, pencapaian, berikut
pengukuran kinerjanya.
Pengertian
menurut para ahli:
Ada
berbagai pengertian Good Corporate Governance yang dapat dijelaskan sebagai
berikut:
a. Corporate
governance merupakan seperangkat tata hubungan diantara manajemen perseroan,
direksi, komisaris, pemegang saham dan para pemangku kepentingan lainnya. (OECD
dalam Leo J. Susilo dan Karlen Simarmata, 2007:17)
b. Corporate
governance sebagai proses dan struktur yang diterapkan dalam menjalankan
perusahaan, dengan tujuan utama meningkatkan nilai pemegang saham dalam jangka
panjang, dengan tetap memperhatikan kepentingan stakeholders yang lain. (IICG
dalam G. Suprayitno, et all, 2004:18)
c. Corporate
governance adalah suatu konsep yang menyangkut struktur perseroan, pembagian
tugas, pembagian kewenangan dan pembagian beban tanggung jawab dari
masing-masing unsur yang membentuk struktur perseroan, dan mekanisme yang harus
ditempuh oleh masing-masing unsur dari perseroan tersebut, serta
hubungan-hubungan antara unsur-unsur dari struktur perseroan itu mulai dari
RUPS, direksi, komisaris, juga mengatur hubungan-hubungan antara unsur-unsur
dari struktur perseroan dengan unsur-unsur di luar perseroan yang pada
hakekatnya merupakan stakeholders dari perseroan, yaitu negara yang sangat
berkepentingan akan perolehan pajak dari perseroan yang bersangkutan, dan
masyarakat luas yang meliputi para investor publik dari perseroan itu (dalam
hal perseroan merupakan perusahaan publik), calon investor, kreditor dan calon
kreditor perseroan. Corporate governance adalah suatu konsep yang luas. (Sutan
Remy Sjahdeini, 1999:1)
d. Good
Corporate Governance adalah suatu tata kelola bank yang menerapkan
prinsip-prinsip keterbukaan (transparency), akuntabilitas (accountability),
pertanggungjawaban (responsibility), independensi (independency), dan kewajaran
(fairness). (Peraturan Bank Indonesia No. 8/4/PBI/2006 tentang Pelaksanaan Good
Corporate Governance Bagi Bank Umum).
e. Pada
Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di Indonesia, penerapan praktik Good Corporate
Governance dipertegas dengan keluarnya Keputusan Menteri BUMN Nomor
kep-117/M-MBU/2002 pasal 1 tentang penerapan praktik Good Corporate Governance
pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Pengertian Corporate Governance
berdasarkan berdasarkan keputusan ini adalah :
“Sesuatu proses dan
struktur yang digunakan oleh organ BUMN untuk meningkatkan keberhasilan usaha
dan akuntabilitas perusahaan guna mewujudkan nilai pemegang saham dalam jangka
panjang lainnya berlandaskan peraturan perundang-undangan dan nilai-nilai
etika.”
Berdasarkan
uraian mengenai corporate governance tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa
Good Corporate Governance adalah suatu sistem pengelolaan perusahaan yang
dirancang untuk meningkatkan kinerja perusahaan, melindungi kepentingan
stakeholders dan meningkatkan kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan
serta nilai-nilai etika yang berlaku secara umum.
Good Corporate
Governance (GCG) tidak lain pengelolaan bisnis yang melibatkan kepentingan
stakeholders serta penggunaan sumber daya berprinsip keadilan, efisiensi,
transparansi dan akuntabilitas.
Prinsip-Prinsip
GCG (Good Corporate Governance)
Terdapat 5 (lima) prinsip dasar GCG, yaitu:
1. Transparency
(Keterbukaan Informasi)
Transparansi diartikan
sebagai keterbukaan informasi, baik dalam proses pengambilan keputusan maupun
dalam mengungkapkan informasi material dan relevan mengenai perusahaan.
Dalam mewujudkan transparansi
itu sendiri, perusahaan harus menyediakan informasi yang lengkap, akurat dan
tepat waktu kepada para pemangku kepentingan (Stakeholder). Bank wajib
menyampaikan kepada Bank Indonesia selaku otoritas pengawas perbankan di
Indonesia dan mempublikasikan informasi keuangan serta informasi lainnya yang
material dan berdampak signifikan pada kinerja perusahaan secara akurat dan
tepat waktu. Disamping itu, para investor harus dapat mengakses informasi
penting perusahaan secara mudah pada saat diperlukan.
Dengan keterbukaan
informasi tersebut maka para stakeholder dapat menilai kinerja berikut
mengetahui risiko yang mungkin terjadi dalam melakukan transaksi dengan
perusahaan. Adanya informasi kinerja perusahaan yang diungkap secara akurat,
tepat waktu, jelas, konsisten, dan dapat diperbandingkan, dapat menghasilkan
terjadinya efisiensi atau disiplin pasar. Selanjutnya, jika prinsip
transparansi dilaksanakan dengan baik dan tepat, akan dapat mencegah terjadinya
benturan kepentingan (conflict of interest) berbagai pihak dalam perusahaan.
2. Accountability
(Akuntabilitas)
Akuntabilitas adalah
kejelasan fungsi, struktur, sistem dan pertanggungjawaban organ perusahaan
sehingga pengelolaan perusahaan terlaksana secara efektif.
Masalah yang sering
ditemukan di perusahaan-perusahaan Indonesia adalah kurang efektifnya fungsi
pengawasan Dewan Komisaris. Atau bahkan sebaliknya, Komisaris mengambil alih peran berikut wewenang yang
seharusnya dijalankan Direksi. Oleh karena itu diperlukan kejelasan mengenai
tugas serta fungsi organ perusahaan agar tercipta suatu mekanisme checks and
balances kewenangan dan peran dalam mengelola perusahaan.
Beberapa bentuk
implementasi lain dari prinsip akuntabilitas ini antara lain:
Praktek Audit Internal
yang efektif, serta kejelasan fungsi, hak, kewajiban, wewenang dan tanggung
jawab dalam anggaran dasar perusahaan, kebijakan, dan prosedur di bank.
3. Responsibility
(Pertanggungjawaban)
Pertanggungjawaban
perusahaan adalah kesesuaian (kepatuhan) di dalam pengelolaan perusahaan
terhadap prinsip korporasi yang sehat serta peraturan perundangan yang berlaku.
Penerapan prinsip ini
diharapkan membuat perusahaan menyadari bahwa dalam kegiatan operasionalnya
seringkali ia menghasilkan eksternalitas (dampak luar kegiatan perusahaan)
negatif yang harus ditanggung oleh masyarakat. Di luar hal itu, lewat prinsip
responsibilitas ini juga diharapkan membantu peran pemerintah dalam mengurangi
kesenjangan pendapatan dan kesempatan kerja pada segmen masyarakat yang belum
mendapatkan manfaat dari mekanisme pasar.
4. Independency
(Kemandirian)
Independensi merupakan
prinsip penting dalam penerapan GCG di Indonesia. Independensi atau kemandirian
adalah suatu keadaan dimana perusahaan dikelola secara profesional tanpa
benturan kepentingan dan pengaruh/tekanan dari pihak manapun yang bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan prinsip-prinsip korporasi
yang sehat.
Independensi sangat
penting dalam proses pengambilan keputusan. Hilangnya independensi dalam proses
pengambilan keputusan akan menghilangkan objektivitas dalam pengambilan
keputusan tersebut. Kejadian ini akan sangat fatal bila ternyata harus
mengorbankan kepentingan perusahaan yang seharusnya mendapat prioritas utama.
Untuk meningkatkan
independensi dalam pengambilan keputusan bisnis, perusahaan hendaknya
mengembangkan beberapa aturan, pedoman, dan praktek di tingkat pengurus bank,
terutama di tingkat Dewan Komisaris dan Direksi yang oleh Undang-undang diberi
amanat untuk mengurus perusahaan dengan sebaik-baiknya.
5. Fairness
(Kesetaraan dan Kewajaran)
Secara sederhana
kesetaraan dan kewajaran (fairness) bisa didefinisikan sebagai perlakuan yang
adil dan setara di dalam memenuhi hak-hak stakeholder yang timbul berdasarkan
perjanjian serta peraturan perundangan yang berlaku.
Fairness juga mencakup
adanya kejelasan hak-hak stakeholder berdasarkan sistem hukum dan penegakan
peraturan untuk melindungi hak-hak investor khususnya pemegang saham minoritas
dari berbagai bentuk kecurangan. Bentuk kecurangan ini bisa berupa insider
trading (transaksi yang melibatkan informasi orang dalam), fraud (penipuan),
dilusi saham (nilai perusahaan berkurang), korupsi-kolusi-nepotisme (KKN), atau
keputusan-keputusan yang dapat merugikan seperti pembelian kembali saham yang
telah dikeluarkan, penerbitan saham baru, merger, akuisisi, atau
pengambil-alihan perusahaan lain.
Siapa Yang Harus Menguasai GCG?
Beberapa jabatan berikut ini sudah
semestinya menguasai apa itu GCG/Good Corporate Governance, diantaranya:
- Dewan
Komisaris,
- Direksi,
- Corporate
Secretary,
- Komite
Audit,
- Komite
GCG,
- Bagian
Legal dan Compliance,
- Internal
Audit perusahaan BUMN & Swasta,
- Dana
Pensiun,
- Yayasan/Koperasi,
- Dan
siapapun yang hendak mengimplementasikan GCG.
Pedoman GCG
Menurut
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), GCG diperlukan untuk mendorong terciptanya
pasar yang efisien, transparan dan konsisten dengan peraturan
perundang-undangan. Penerapan GCG perlu didukung oleh tiga pilar yang saling
berhubungan, yaitu negara dan perangkatnya sebagai regulator, dunia usaha
sebagai pelaku pasar, dan masyarakat sebagai pengguna produk dan jasa dunia
usaha. Prinsip dasar yang harus dilaksanakan oleh masing-masing pilar adalah:
1. Negara
dan perangkatnya menciptakan peraturan perundang-undangan yang menunjang iklim
usaha yang sehat, efisien dan transparan, melaksanakan peraturan
perundang-undangan dan penegakan hukum secara konsisten (consistent law
enforcement).
2. Dunia
usaha sebagai pelaku pasar menerapkan GCG sebagai pedoman dasar pelaksanaan
usaha.
3. Masyarakat
sebagai pengguna produk dan jasa dunia usaha serta pihak yang terkena dampak
dari keberadaan perusahaan, menunjukkan kepedulian dan melakukan kontrol sosial
(social control) secara obyektif dan bertanggung jawab.
Stijn
Claessen dan Charles P. Oman sebagaimana dikutip oleh Leo J. Susilo dan Karlen
Simarmata (2007:15) melihat bahwa corporate governance mempunyai dua aspek:
1. Aspek
pertama berkaitan dengan pola hubungan dan perilaku aktor dalam perseroan.
Perilaku manajemen dengan karyawan; perilaku perseroan dengan pemasok, dengan
kreditor, dan lain-lain. Indikator yang digunakan untuk melihat bagaimana
perilaku ini memberikan manfaat adalah bagaimanakah tingkat efisiensi
perusahaan, bagaimanakah kinerja perusahaan, pertumbuhan, perlakuan kepada
pemegang saham dan pemangku kepentingan, dan lain-lain. Aspek ini disebut aspek
perilaku korporasi dan sasarannya adalah peningkatan kinerja (performance).
2. Aspek
kedua berkaitan dengan seperangkat peraturan dan norma yang membentuk perilaku
di atas. Hal ini meliputi hukum perusahaan, peraturan perundang-undangan
lainnya, standar dan norma, seperti kode etik profesi, pedoman etika korporasi,
dan lain-lain. Semua ini disebut aspek normatif dari corporate governance dan
sasarannya adalah kepatuhan (comformance).
Berdasarkan
penjelasan di atas, maka diperlukan adanya perangkat hukum atau pedoman dalam
mengimplementasikan Good Corporate Governance. Di Indonesia, pemerintah melalui
Keputusan Menteri Koordinator Ekonomi, Keuangan dan Industri No.
Kep/31/M.EKUIN/08/1999, telah membentuk suatu badan yang diberi nama Komite
Nasional Kebijakan Corporate Governance (KNKCG)). Komite Nasional ini bertugas
untuk merumuskan dan merekomendasikan kebijakan nasional mengenai pengelolaan
perusahaan. Komite Nasional ini telah merumuskan suatu Kerangka Kerja Good
Corporate Governance atau Pedoman Good Corporate Governance.
Pedoman Good
Corporate Governance yang dikeluarkan KNKCG telah beberapa kali disempurnakan,
yakni pada tahun 2001 dan 2006. Berdasarkan pemikiran bahwa suatu sektor
ekonomi tertentu cenderung memiliki karakteristik yang tidak sama, maka pada
awal tahun 2004 dikeluarkan Pedoman GCG Perbankan Indonesia.
Untuk industri
perbankan Indonesia saat ini terdapat tiga dokumen yang dapat dijadikan acuan
penerapan GCG pada bank umum. (Leo J. Susilo dan Karlen Simarmata, 2007:76).
Sesuai dengan tahun terbitnya, ketiga dokumen tersebut adalah:
1. “Enhanching
Corporate Governance for Banking Organization” yang diterbitkan pertama kali
tahun 1999 oleh Basel Committee on Banking Supervisoion, Bank for International
Settlement, dan direvisi pada bulan Februari 2006;
2. “Pedoman
Good Corporate Governance Perbankan Indonesia” yang diterbitkan oleh Komite
Nasional Kebijakan Corporate Governance (KNKCG) pada bulan Januari 2004;
3. Peraturan
Bank Indonesia Nomor 8/14/PBI/2006 tentang perubahan PBI No. 8/4/PBI/2006
tentang Pelaksanaan Good Corporate Governance bagi Bank Umum, yang dikeluarkan
pada tanggal 30 Januari dan 5 Oktober 2006.
Pedoman
dari Basel Committee bersifat imperatif secara moral, karena anggota Bank for
International Settlement (BIS) adalah bank-bank sentral dari berbagai negara,
termasuk Bank Indonesia. Pedoman dari KNKCG bersifat sukarela dan tidak
mempunyai sifat mengikat maupun imperative bagi bank umum serta berfungsi
sebagai acuan saja. Sedangkan pedoman penerapan GCG yang diterbitkan Bank Indonesia
selaku otoritas pengawas bank di Indonesia mempunyai kekuatan mengikat secara
hukum.
Dengan
dikeluarkannya Peraturan Bank Indonesia tersebut maka Bank Umum wajib
melaksanakan GCG. Apabila tidak dipatuhi akan dikenakan sanksi.
Tujuan Pelaksanaan Good Corporate Governance
Menurut
Siswanto Sutojo dalam E. John Aldridge (2005:5-6), Good Corporate Governance
mempunyai lima macam tujuan utama, yaitu
:
a. Melindungi
hak dan kepentingan pemegang saham.
b. Melindungi
hak dan kepentingan para anggota the stakeholders non-pemegang saham.
c. Meningkatkan
nilai perusahaan dan para pemegang saham.
d. Meningkatkan
efisiensi dan efektifitas kerja Dewan Pengurus atau Board of Directors dan
manajemen perusahaan, dan
e. Meningkatkan
mutu hubungan Board of Directors dengan manajemen senior perusahaan.
Penerapan Good corporate Governance
dilingkungan BUMN dan BUMD mempunyai tujuan sesuai KEPMEN BUMN M-MBU/2002
tanggal 1 Agustus 2001 pada pasal 4 yaitu :
a. Memaksimalkan
nilai BUMN dengan cara meningkatkan prinsip keterbukaan, akuntabilitas, dapat
dipercaya, bertanggung jawab, dan adil agar perusahaan memiliki daya saing yang
kuat, baik secara nasional maupun internasional.
b. Mendorong
pengelolaan BUMN secara profesional, transparan dan efisiensi, serta
memberdayakan fungsi dan meningkatkan kemandirian organ.
c. Mendorong
agar organ dalam membuat keputusan dan menjalankan tindakan dilandasi nilai
moral yang tinggi dan kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan yang
berlaku, serta kesadaran akan adanya tanggungjawab sosial BUMN terhadap stakeholders
maupun kelestarian lingkungan di sekitar BUMN.
d. Meningkatkan
kontribusi BUMN dalam perekonomian nasional.
e. Meningkatkan
iklim investasi nasional.
f. Mensukseskan
program privatisasi.
Manfaat Good Corporate Governance
Dengan
melaksanakan Corporate Governance,
menurut Forum of Corporate Governance in
Indonesia (FCGI) ada beberapa manfaat
yang diperoleh, antara lain:
a. Meningkatkan
kinerja perusahaan melalui terciptanya proses pengambilan keputusan yang lebih
baik, meningkatkan efisiensi operasional perusahaan, serta lebih meningkatkan
pelayanan kepada stakeholder.
b. Mempermudah
diperolehnya dana pembiayaan yang lebih murah dan tidak rigid (karena faktor
kepercayaan) yang pada akhirnya akan meningkatkan corporate value.
c. Mengembalikan
kepercayaan investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia,
Pemegang saham akan
puas dengan kinerja perusahaan karena sekaligus akan meningkatkan shareholder
Value dan deviden.
Faktor Penentu Keberhasilan Good
Corporate Governance
Syarat
keberhasilan penerapan GCG memiliki dua faktor yang memegang peranan sebagai
berikut :
1. Faktor
Internal
Faktor internal adalah
pendorong keberhasilan pelaksanaan praktek GCG yang berasal dari dalam
perusahaan. Beberapa factor yang dimaksud antara lain:
a. Terdapatnya
budaya perusahaan (corporate culture) yang mendukung penerapan GCG dalam
mekanisme serta sistem kerja manajemen di perusahaan.
b. Berbagai
peraturan dan kebijakan yang dikeluarkan perusahaan mengacu pada penerapan
nilai-nilai GCG.
c. Manajemen
pengendalian risiko perusahaan juga didasarkan pada kaidah-kaidah standar GCG.
d. Terdapatnya
sistem audit (pemeriksaan) yang efektif dalam perusahaan untuk menghindari
setiap penyimpangan yang mungkin akan terjadi.
e. Adanya
keterbukaan informasi bagi publik untuk mampu memahami setiap gerak dan langkah
manajemen dalam perusahaan sehingga kalangan publik dapat memahami dan
mengikuti setiap derap langkah perkembangan dan dinamika perusahaan dari waktu
ke waktu.
2. Faktor
Eksternal
Faktor eksternal adalah
beberapa faktor yang berasal dari luar perusahaan yang sangat mempengaruhi
keberhasilan penerapan GCG. Di antaranya:
a. Terdapatnya
sistem hukum yang baik sehingga mampu menjamin berlakunya supremasi hukum yang
konsisten dan efektif.
b. Dukungan
pelaksanaan GCG dari sektor publik/ lembaga pemerintahaan yang diharapkan dapat
pula melaksanakan Good Governance dan Clean Government menuju Good Government
Governance yang sebenarnya.
c. Terdapatnya
contoh pelaksanaan GCG yang tepat (best practices) yang dapat menjadi standard
pelaksanaan GCG yang efektif dan profesional. Dengan kata lain, semacam
benchmark (acuan).
d. Terbangunnya
sistem tata nilai sosial yang mendukung penerapan GCG di masyarakat. Ini
penting karena lewat sistem ini diharapkan timbul partisipasi aktif berbagai
kalangan masyarakat untuk mendukung aplikasi serta sosialisasi GCG secara
sukarela.
e. Hal
lain yang tidak kalah pentingnya sebagai prasyarat keberhasilan implementasi
GCG terutama di Indonesia adalah adanya semangat anti korupsi yang berkembang
di lingkungan publik di mana perusahaan beroperasi disertai perbaikan masalah
kualitas pendidikan dan perluasan peluang kerja. Bahkan dapat dikatakan bahwa perbaikan
lingkungan publik sangat mempengaruhi kualitas dan skor perusahaan dalam
implementasi GCG.
Di luar dua faktor di
atas, aspek lain yang paling strategis dalam mendukung penerapan GCG secara
efektif sangat tergantung pada kualitas, skill, kredibilitas, dan integritas
berbagai pihak yang menggerakkan organ perusahaan. Jika berbagai prinsip dan
aspek penting GCG dilanggar suatu perusahaan, maka sudah dapat dipastikan
perusahaan tersebut tidak akan mampu bertahan lama dalam persaingan bisnis
global dewasa ini, meski perusahaan itu memiliki lingkungan kondusif bagi
pertumbuhan bisnisnya.
PERILAKU ETIKA DALAM PROFESI
AKUNTANSI
Akuntansi Sebagai Suatu Profesi
Pengertian
Profesi Akuntansi
Menurut
International Federation of Accountants (dalam Regar, 2003) yang dimaksud
dengan profesi akuntan adalah semua bidang pekerjaan yang mempergunakan
keahlian di bidang akuntansi, termasuk bidang pekerjaan akuntan publik, akuntan
intern yang bekerja pada perusahaan industri, keuangan atau dagang, akuntan
yang bekerja di pemerintah, dan akuntan sebagai pendidik.
Dalam arti
sempit, profesi akuntan adalah lingkup pekerjaan yang dilakukan oleh akuntan
sebagai akuntan publik yang lazimnya terdiri dari pekerjaan audit, akuntansi,
pajak dan konsultan manajemen.
Profesi Akuntan
biasanya dianggap sebagai salah satu bidang profesi seperti organisasi lainnya,
misalnya Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Supaya dikatakan profesi ia harus
memiliki beberapa syarat sehingga masyarakat sebagai objek dan sebagai pihak
yang memerlukan profesi, mempercayai hasil kerjanya.
Akuntansi
sebagai Profesi dan Peran Akuntan
Profesi akuntansi merupakan sebuah
profesi yang menyediakan jasa atestasi maupun non-Atestasi kepada masyarakat
dengan dibatasi kode etik yang ada. Akuntansi sebagai profesi memiliki
kewajiban untuk mengabaikan kepentingan pribadi dan mengikuti etika profesi
yang telah ditetapkan. Kewajiban akuntan sebagai profesional mempunyai tiga
kewajiban yaitu; kompetensi, objektif dan mengutamakan integritas. Yang
dimaksud dengan profesi akuntan adalah semua bidang pekerjaan yang
mempergunakan keahlian di bidang akuntansi, termasuk bidang pekerjaan akuntan
publik, akuntan intern yang bekerja pada perusahaan industri, keuangan atau
dagang, akuntan yang bekerja di pemerintah, dan akuntan sebagai pendidik. Dalam
arti sempit, profesi akuntan adalah lingkup pekerjaan yang dilakukan oleh
akuntan sebagai akuntan publik yang lazimnya terdiri dari pekerjaan audit,
akuntansi, pajak dan konsultan manajemen.
Peran akuntan
Peran
akuntan dalam perusahaan tidak bisa terlepas dari penerapan prinsipGood
Corporate Governance (GCG) dalam perusahaan. Meliputi prinsip
kewajaran(fairness), akuntabilitas (accountability), transparansi
(transparency), dan responsibilitas (responsibility). Peran akuntan antara
lain:
a. Akuntan
Publik (Public Accountants)
Akuntan publik atau
juga dikenal dengan akuntan eksternal adalah akuntan independen yangmemberikan
jasa-jasanya atas dasar pembayaran tertentu. Mereka bekerja bebas dan
umumnyamendirikan suatu kantor akuntan. Yang termasuk dalam kategori akuntan
publik adalah akuntan yang bekerja pada kantor akuntan publik (KAP) dan dalam
prakteknya sebagai seorang akuntan publik dan mendirikan kantor akuntan,
seseorang harus memperoleh izin dari DepartemenKeuangan. Seorang akuntan publik
dapat melakukan pemeriksaan (audit), misalnya terhadap jasaperpajakan, jasa
konsultasi manajemen, dan jasa penyusunan system manajemen.
b. Akuntan
Intern (Internal Accountant)
Akuntan intern adalah
akuntan yang bekerja dalam suatu perusahaan atau organisasi. Akuntanintern ini
disebut juga akuntan perusahaan atau akuntan manajemen. Jabatan tersebut yang
dapat diduduki mulai dari Staf biasa sampai dengan Kepala Bagian Akuntansi atau
Direktur Keuangan. tugas mereka adalah menyusun sistem akuntansi, menyusun
laporan keuangan kepada pihak-pihak eksternal, menyusun laporan keuangan kepada
pemimpin perusahaan, menyusun anggaran, penanganan masalah perpajakan dan pemeriksaan
intern.
c. Akuntan
Pemerintah (Government Accountants)
Akuntan pemerintah
adalah akuntan yang bekerja pada lembaga-lembaga pemerintah, misalnya dikantor
Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Badan Pengawas Keuangan (BPK).
d. Akuntan
Pendidik
Akuntan pendidik adalah
akuntan yang bertugas dalam pendidikan akuntansi, melakukan penelitian dan
pengembangan akuntansi, mengajar, dan menyusun kurikulum pendidikan akuntansi
di perguruan tinggi.
Ekspektasi Publik
Masyarakat
umumnya mempersepsikan akuntan sebagai orang yang profesional dibidang
akuntansi. Ini berarti bahwa mereka mempunyai sesuatu kepandaian yang lebih
dibidang ini dibandingkan dengan orang awam sehingga masyarakat pun berharap
bahwa para akuntan mematuhi standar dan tata nilai yang berlaku dilingkungan
profesi akuntan, sehingga masyarakat dapat mengandalkan kepercayaannya terhadap
pekerjaan yang diberikan. Dengan demikian unsur kepercayaan memegang peranan
yang sangat penting dalam hubungan antara akuntan dan pihak-pihak yang
berkepentingan.
Perubahan
ekpektasi publik terhadap bisnis juga akan mempengaruhi ekpektasi publik
terhadap peran akuntan. Trade Off antara
akuntan sebagai bagian dari perusahaan dan sebagai penjaga kepentingan publik
bisa dikatakan sulit. Pada satu sisi, akuntan sebagai bagian dari perusahaan
diharapkan mampu dalam memenuhi tanggung jawabnya sebagai karyawan dalam sebuah
perusahaan, sisi lainnya adalah publik mengharapkan agar akuntan juga tetap
profesional dan memegang teguh nilai-nilai objektifitas, Integritas dan kerahasiaan
untuk melindungi kepentingan publik.
Nilai-nilai Etika vs Teknik
Akuntansi/Auditing
Sebagian
besar akuntan dan kebanyakan bukan akuntan memegang pendapat bahwa penguasaan
akuntansi dan atau teknik audit merupakan sejata utama proses akuntansi. Tetapi
beberapa skandal keuangan disebabkan oleh kesalahan dalam penilaian tentang
kegunaan teknik atau yang layak atau penyimpangan yang terkait dengan hal itu.
Beberapa kesalahan dalam penilaian berasal dari salah mengartikan permasalahan
dikarenakan kerumitannya, sementara yang lain dikarenakan oleh kurangnnya
perhatian terhadap nilai etik kejujuran, integritas, objektivitas, perhatian,
rahasia dan komitmen terhadap mendahulukan kepentingan orang lain dari pada
kepentingan diri sendiri. Berikut penjelasannya :
- Integritas
Setiap tindakan dan
kata-kata pelaku profesi menunjukan sikap transparansi, kejujuran dan
konsisten.
- Kerjasama
Mempunyai kemampuan
untuk bekerja sendiri maupun dalam tim inovasi
- Pelaku
profesi mampu memberi nilai tambah pada pelanggan dan proses kerja dengan
metode baru.
- Simplisitasi
Pelaku profesi mampu
memberikan solusi pada setiap masalah yang timbul, dan masalah yang kompleks
menjadi lebih sederhana.
- Teknik
akuntansi (akuntansi technique) adalah aturan aturan khusus yang diturunkan
dari prinsip prinsip akuntan yang menerangkan transaksi transaksi dan kejadian
kejadian tertentu yang dihadapi oleh entitas akuntansi tersebut.
Perilaku Etika dalam Pemberian Jasa
Akuntan publik
Timbul
dan berkembangnya profesi akuntan publik di suatu negara adalah sejalan dengan
berkembangnya perusahaan dan berbagai bentuk badan hukum perusahaan di negara
tersebut. Jika banyak perusahaan di suatu negara berkembang sedemikian rupa
sehingga tidak hanya memerlukan modal dari pemiliknya, namun mulai memerlukan modal
dari kreditur, dan jika timbul berbagai perusahaan berbentuk badan hukum
perseroan terbatas yang modalnya berasal dari masyarakat, jasa akuntan publik
mulai di perlukan dan berkembang. Dari profesi akuntan publik inilah masyarakat
kreditur dan investor mengharapkan penilaian yang bebas tidak memihak terhadap
informasi yang disajikan dalam laporan keuangan oleh manajemen perusahaan.
Profesi akuntan publik menghasilakn berbagai jasa bagi masyarakat, yaitu :
a.
Jasa Assurance adalah jasa
profesional independen yang meningkatkan mutu informasi bagi pengambil
keputusan.
b.
Jasa Atestasi adalah suatu
pernyataan pendapat, pertimbangan orang independen dan kompeten tentang apakah
asersi suatu entitas sesuai dalam semua hal yang material, dengan kriteria yang
telah ditetapkan. Jasa Atestasi terdiri dari audit, pemeriksaan (examination),
review, dan prosedur yang disepakati (agree upon procedure).
c.
Jasa Non Assurance adalah jasa yang
dihasilkan oleh akuntan publik yang di dalamnya ia tidak memberikan suatu
pendapat, keyakinana negatif, ringkasan temuan, atau bentuk lain keyakinan.
Contoh jasa non assurance yang dihasilkan oleh profesi akuntan publik adalah
jasa kompilasi, jasa perpajakan dan jasa konsultasi.
Setiap profesi yang
menyediakan jasanya kepada masyarakat memerlukan kepercayaan dari masyarakat
yang dinilainya. Kepercayaan masyarakat terhadap mutu jasa akuntan publik akan
menjadi lebih tinggi, jika profesi tersebut menerapkan standar mutu tinggi
terhadap pelakasaan pekerjaan profesional yang dilakukan oleh anggota profesinya.
Aturan Etika Kompartemen merupakan etika profesional bagi akuntan yang
berpraktik sebagai akuntan publik Indonesia. Aturan Etika Kompartemen bersumber
dari Prinsip Etika yang ditetapkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia.
Prinsip
Etika Profesi Dalam Akuntansi
1.
Tanggung Jawab profesi
Dalam
melaksanakan tanggung jawabnya sebagai profesional, setiap anggota harus
senantiasa menggunakan pertimbangan moral dan profesional dalam semua kegiatan
yang dilakukannya. Sebagai profesional, anggota mempunyai peran penting dalam
masyarakat. Sejalan dengan peran tersebut, anggota mempunyai tanggung jawab
kepada semua pemakai jasa profesional mereka. Anggota juga harus selalu
bertanggungjawab untuk bekerja sama dengan sesama anggota untuk mengembangkan
profesi akuntansi, memelihara kepercayaan masyarakat dan menjalankan tanggung
jawab profesi dalam mengatur dirinya sendiri. Usaha kolektif semua anggota
diperlukan untuk memelihara dan meningkatkan tradisi profesi.
2. Kepentingan Publik
Setiap anggota
berkewajiban untuk senantiasa bertindak dalam kerangka pelayanan kepada publik,
menghormati kepercayaan publik, dan menunjukan komitmen atas profesionalisme.
Satu ciri utama dari suatu profesi adalah penerimaan tanggung jawab kepada
publik. Profesi akuntan memegang peran yang penting di masyarakat, dimana
publik dari profesi akuntan yang terdiri dari klien, pemberi kredit,
pemerintah, pemberi kerja, pegawai, investor, dunia bisnis dan keuangan, dan
pihak lainnya bergantung kepada obyektivitas dan integritas akuntan dalam memelihara
berjalannya fungsi bisnis secara tertib. Ketergantungan ini menimbulkan
tanggung jawab akuntan terhadap kepentingan publik. Kepentingan publik
didefinisikan sebagai kepentingan masyarakat dan institusi yang dilayani
anggota secara keseluruhan. Ketergantungan ini menyebabkan sikap dan tingkah
laku akuntan dalam menyediakan jasanya mempengaruhi kesejahteraan ekonomi
masyarakat dan negara. Kepentingan utama profesi akuntan adalah untuk membuat
pemakai jasa akuntan paham bahwa jasa akuntan dilakukan dengan tingkat prestasi
tertinggi sesuai dengan persyaratan etika yang diperlukan untuk mencapai
tingkat prestasi tersebut. Dan semua anggota mengikat dirinya untuk menghormati
kepercayaan publik. Atas kepercayaan yang diberikan publik kepadanya, anggota harus
secara terus menerus menunjukkan dedikasi mereka untuk mencapai profesionalisme
yang tinggi. Untuk memelihara dan meningkatkan kepercayaan publik, setiap
anggota harus memenuhi tanggung jawab profesionalnya dengan integritas setinggi
mungkin.
3.
Integritas
Integritas adalah suatu
elemen karakter yang mendasari timbulnya pengakuan profesional. Integritas
merupakan kualitas yang melandasi kepercayaan publik dan merupakan patokan
(benchmark) bagi anggota dalam menguji keputusan yang diambilnya. Integritas
mengharuskan seorang anggota untuk, antara lain, bersikap jujur dan berterus
terang tanpa harus mengorbankan rahasia penerima jasa. Pelayanan dan
kepercayaan publik tidak boleh dikalahkan oleh keuntungan pribadi. Integritas
dapat menerima kesalahan yang tidak disengaja dan perbedaan pendapat yang
jujur, tetapi tidak menerima kecurangan atau peniadaan prinsip.
4.
Obyektivitas
Setiap anggota harus
menjaga obyektivitasnya dan bebas dari benturan kepentingan dalam pemenuhan
kewajiban profesionalnya. Obyektivitasnya adalah suatu kualitas yang memberikan
nilai atas jasa yang diberikan anggota. Prinsip obyektivitas mengharuskan
anggota bersikap adil, tidak memihak, jujur secara intelektual, tidak
berprasangka atau bias, serta bebas dari benturan kepentingan atau dibawah
pengaruh pihak lain. Anggota bekerja dalam berbagai kapasitas yang berbeda dan
harus menunjukkan obyektivitas mereka dalam berbagai situasi. Anggota dalam
praktek publik memberikan jasa atestasi, perpajakan, serta konsultasi
manajemen. Anggota yang lain menyiapkan laporan keuangan sebagai seorang
bawahan, melakukan jasa audit internal dan bekerja dalam kapasitas keuangan dan
manajemennya di industri, pendidikan, dan pemerintah. Mereka juga mendidik dan
melatih orang orang yang ingin masuk kedalam profesi. Apapun jasa dan
kapasitasnya, anggota harus melindungi integritas pekerjaannya dan memelihara
obyektivitas.
5.
Kompetensi dan Kehati-hatian Profesional
Setiap anggota harus
melaksanakan jasa profesionalnya dengan berhati-hati, kompetensi dan ketekunan,
serta mempunyai kewajiban untuk mempertahankan pengetahuan dan ketrampilan
profesional pada tingkat yang diperlukan untuk memastikan bahwa klien atau
pemberi kerja memperoleh manfaat dari jasa profesional dan teknik yang paling
mutakhir. Hal ini mengandung arti bahwa anggota mempunyai kewajiban untuk
melaksanakan jasa profesional dengan sebaik-baiknya sesuai dengan kemampuannya,
demi kepentingan pengguna jasa dan konsisten dengan tanggung jawab profesi
kepada publik. Kompetensi diperoleh melalui pendidikan dan pengalaman. Anggota
seharusnya tidak menggambarkan dirinya memiliki keahlian atau pengalaman yang
tidak mereka miliki. Kompetensi menunjukkan terdapatnya pencapaian dan
pemeliharaan suatu tingkat pemahaman dan pengetahuan yang memungkinkan seorang
anggota untuk memberikan jasa dengan kemudahan dan kecerdikan. Dalam hal
penugasan profesional melebihi kompetensi anggota atau perusahaan, anggota
wajib melakukan konsultasi atau menyerahkan klien kepada pihak lain yang lebih
kompeten. Setiap anggota bertanggung jawab untuk menentukan kompetensi masing
masing atau menilai apakah pendidikan, pedoman dan pertimbangan yang diperlukan
memadai untuk bertanggung jawab yang harus dipenuhinya.
6.
Kerahasiaan
Setiap anggota harus
menghormati kerahasiaan informasi yang diperoleh selama melakukan jasa
profesional dan tidak boleh memakai atau mengungkapkan informasi tersebut tanpa
persetujuan, kecuali bila ada hak atau kewajiban profesional atau hukum untuk
mengungkapkannya. Kepentingan umum dan profesi menuntut bahwa standar profesi
yang berhubungan dengan kerahasiaan didefinisikan bahwa terdapat panduan
mengenai sifat sifat dan luas kewajiban kerahasiaan serta mengenai berbagai
keadaan di mana informasi yang diperoleh selama melakukan jasa profesional
dapat atau perlu diungkapkan. Anggota mempunyai kewajiban untuk menghormati
kerahasiaan informasi tentang klien atau pemberi kerja yang diperoleh melalui
jasa profesional yang diberikannya. Kewajiban kerahasiaan berlanjut bahkan
setelah hubungan antar anggota dan klien atau pemberi jasa berakhir.
7.
Perilaku Profesional
Setiap anggota harus
berperilaku yang konsisten dengan reputasi profesi yang baik dan menjauhi
tindakan yang dapat mendiskreditkan profesi. Kewajiban untuk menjauhi tingkah
laku yang dapat mendiskreditkan profesi harus dipenuhi oleh anggota sebagai
perwujudan tanggung jawabnya kepada penerima jasa, pihak ketiga, anggota yang
lain, staf, pemberi kerja dan masyarakat umum.
8.
Standar Teknis
Setiap anggota harus
melaksanakan jasa profesionalnya sesuai dengan standar teknis dan standar
profesional yang relevan. Sesuai dengan keahliannya dan dengan berhati-hati,
anggota mempunyai kewajiban untuk melaksanakan penugasan dari penerima jasa
selama penugasan tersebut sejalan dengan prinsip integritas dan obyektivitas. Standar
teknis dan standar professional yang harus ditaati anggota adalah standar yang
dikeluarkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia. Internasional Federation of
Accountants, badan pengatur, dan pengaturan perundang-undangan yang relevan.
Pelanggaran
Etika Profesi Akuntan dan Sanksinya
Tahun 1973 IAI
menetapkan kode etik bagi profesi akuntan di Indonesia, yang diberi nama Kode
Etik Ikatan Akuntan Indonesia, yang mengatur standar mutu terhadap pelaksanaan
pekerjaan akuntan, guna menjaga kepercayaan masyarakat terhadap profesi
akuntan. Tahun 1998 Ikatan Akuntan Indonesia menetapkan delapan prinsip etika
yang berlaku bagi seluruh anggota IAI baik di pusat maupun di daerah.
Kode Etik Ikatan
Akuntan Indonesia dimaksudkan sebagai panduan dan aturan bagi seluruh anggota,
baik yang berpraktik sebagai akuntan publik, bekerja di lingkungan dunia usaha,
pada instansi pemerintah, maupun di lingkungan dunia pendidikan dalam pemenuhan
tanggung-jawab profesionalnya.
Tujuan profesi
akuntansi adalah memenuhi tanggung-jawabnya dengan standar profesionalisme
tertinggi, mencapai tingkat kinerja tertinggi, dengan orientasi kepada
kepentingan public.
terdapat empat kebutuhan dasar yang
harus dipenuhi untuk mencapai tujuan tersebut, yaitu :
Kredibilitas. Masyarakat
membutuhkan kredibilitas informasi dan sistem informasi.
Profesionalisme.
Diperlukan individu yang dengan jelas dapat diidentifikasikan oleh pemakai jasa
Akuntan sebagai profesional di bidang akuntansi kualitas Jasa. Terdapatnya
keyakinan bahwa semua jasa yang diperoleh dari akuntan diberikan dengan standar
kinerja tertinggi.
Kepercayaan. Pemakai
jasa akuntan harus dapat merasa yakin bahwa terdapat kerangka etika profesional
yang melandasi pemberian jasa oleh akuntan.
Kode Etik Ikatan
Akuntan Indonesia terdiri dari tiga bagian:
- Prinsip
Etika
Memberikan kerangka
dasar bagi Aturan Etika, yang mengatur pelaksanaan pemberian jasa profesional
oleh anggota. Prinsip Etika disahkan oleh Kongres dan berlaku bagi seluruh
anggota.
- Aturan
Etika
Disahkan oleh Rapat
Anggota Himpunan dan hanya mengikat anggota Himpunan yang bersangkutan.
- Interpretasi
Aturan Etika
Merupakan interpretasi
yang dikeluarkan oleh Badan yang dibentuk oleh Himpunan setelah memperhatikan
tanggapan dari anggota, dan pihak-pihak berkepentingan lainnya, sebagai panduan
dalam penerapan.
Pernyataan Etika Profesi yang
berlaku saat ini dapat dipakai sebagai Interpretasi dan atau Aturan Etika
sampai dikeluarkannya aturan dan interpretasi baru untuk menggantikannya.
Kepatuhan
Kepatuhan
terhadap Kode Etik, seperti juga dengan semua standar dalam masyarakat terbuka,
tergantung terutama sekali pada pemahaman dan tindakan sukarela anggota. Di
samping itu, kepatuhan anggota juga ditentukan oleh adanya pemaksaan oleh
sesama anggota dan oleh opini publik, dan pada akhirnya oleh adanya mekanisme
pemrosesan pelanggaran Kode Etik oleh organisasi, apabila diperlukan, terhadap
anggota yang tidak menaatinya.
Jika
perlu, anggota juga harus memperhatikan standar etik yang ditetapkan oleh badan
pemerintahan yang mengatur bisnis klien atau menggunakan laporannya untuk
mengevaluasi kepatuhan klien terhadap peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Fungsi Etika yaitu :
Sarana untuk memperoleh orientasi
kritis berhadapan dengan pelbagai moralitas yang membingungkan.
Etika ingin menampilkanketrampilan
intelektual yaitu ketrampilan untuk berargumentasi secara rasional dan kritis.
Orientasi etis ini diperlukan dalam
mengabil sikap yang wajar dalam suasana pluralisme.
Faktor-faktor Yang Mempengaruhi
Pelanggaran Etika :
Kebutuhan Individu
Tidak Ada Pedoman
Perilaku dan Kebiasaan Individu
Yang Terakumulasi dan Tak Dikoreksi
Lingkungan Yang Tidak Etis
Perilaku Dari Komunitas
Jenis-jenis Etika :
Etika umum yang berisi prinsip
serta moral dasar .
Etika khusus atau etika terapan
yang berlaku khusus.
Ada tiga prinsip dasar perilaku
yang etis :
Hindari pelanggaran etika yang
terlihat remeh. Meskipun tidak besar sekalipun, suatu ketika akan menyebabkan
konsekuensi yang besar pada profesi.
Pusatkan perhatian pada reputasi
jangka panjang. Disini harus diingat bahwa reputasi adalah yang paling
berharga, bukan sekadar keuntungan jangka pendek.
Bersiaplah menghadapi konsekuensi
yang kurang baik bila berpegang pada perilaku etis. Mungkin akuntan akan
menghadapi masalah karier jika berpegang teguh pada etika. Namun sekali lagi,
reputasi jauh lebih penting untuk dipertahankan.
Sanksi pelanggaran kode etik :
a. Mendapat
peringatan
Pada tahap ini, si
pelaku akan mendapatkan peringatan halus, misal jika seseorang menyebutkan
suatu instansi terkait (namun belum parah tingkatannya) bisa saja ia akan
menerima email yang berisi peringatan, jika tidak diklarifikasi kemungkinan
untuk berlanjut ke tingkat selanjutnya, seperti peringatan keras ataupun
lainnya
b. Pemblokiran
Mengupdate status yang
berisi SARA, mengupload data yang mengandung unsur pornografi baik berupa image
maupun .gif, seorang programmer yang mendistribusikan malware. Hal tersebut
adalah contoh pelanggaran dalam kasus yang sangat berbeda-beda, kemungkinan
untuk kasus tersebut adalah pemblokiran akun di mana si pelaku melakukan
aksinya. Misal, sebuah akun pribadi sosial yang dengan sengaja membentuk grup
yang melecehkan agama, dan ada pihak lain yang merasa tersinggung karenanya,
ada kemungkinan akun tersebut akan dideactivated oleh server. Atau dalam
web/blog yang terdapat konten porno yang mengakibatkan pemblokiran web/blog
tersebut
c. Hukum
Pidana/Perdata
“Setiap penyelenggara
negara, Orang, Badan Usaha, atau masyarakat yang dirugikan karena penggunaan
Nama Domain secara tanpa hak oleh Orang lain, berhak mengajukan gugatan pembatalan
Nama Domain dimaksud” (Pasal 23 ayat 3)
“Setiap Orang dengan
sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan tindakan apa pun yang
berakibat terganggunya Sistem Elektronik dan/atau mengakibatkan Sistem
Elektronik menjadi tidak bekerja sebagaimana mestinya” (Pasal 33)
“Gugatan perdata
dilakukan sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan” (Pasal 39)
Adalah sebagian dari
UUD RI No.11 tahun 2008 tentang informasi dan transaksi elektronik (UU ITE)
yang terdiri dari 54 pasal.
Sumber: