POLIMER
Definisi dan Jenis Polimer
Hart (1983) dalam bukunya, Organic Chemistry, menyebutkan
bahwa polimer (poly = banyak, meros = bagian) adalah molekul raksasa yang
biasanya memiliki bobot molekul tinggi, dibangun dari pengulangan unit-unit.
Molekul sederhana yang membentuk unit-unit ulangan ini dinamakan monomer.
Sedangkan reaksi pembentukan polimer dikenal dengan istilah polimerisasi.
Polimer digolongkan menjadi dua macam, yaitu polimer alam
(seperti pati, selulosa, dan sutra) dan polimer sintetik (seperti polimer
vinil). Plastik yang kita kenal sehari-hari sering dipertukarkan dengan polimer
sintetik. Ini dikarenakan sifat plastik yang mudah dibentuk (bahasa latin;
plasticus = mudah dibentuk) dikaitkan dengan polimer sintetik yang dapat
dilelehkan dan diubah menjadi bermacam-macam bentuk. Padahal sebenarnya plastik
mempunyai arti yang lebih sempit. Plastik termasuk bagian polimer termoplastik,
yaitu polimer yang akan melunak apabila dipanaskan dan dapat dibentuk sesuai
pola yang kita inginkan. Setelah dingin polimer ini akan mempertahankan
bentuknya yang baru. Proses ini dapat diulang dan dapat diubah menjadi bentuk
yang lain. Golongan polimer sintetik lain adalah polimer termoset (materi yang
dapat dilebur pada tahap tertentu dalam pembuatannya tetapi menjadi keras
selamanya, tidak melunak dan tidak dapat dicetak ulang). Contoh polimer ini
adalah bakelit yang banyak dipakai untuk peralatan radio, toilet, dan
lain-lain.
Perkembangan Polimer Sintetik
Penemuan dan pengembangan polimer sintetik didasari pada
adanya beberapa keterbatasan yang ditemukan manusia pada pemanfaatan polimer
alam. Sebagai contoh, polimer alam seperti karet alam memiliki beberapa
keterbatasan seperti berbau, lunak dan lengket jika suhu udara terlalu panas,
keras dan rapuh jika suhu udara terlalu dingin, berbau, dan sering melekat pada
saat pengolahannya. Selain itu ketersediaan yang terbatas di alam menjadi
faktor pembatas pemanfaatannya. Indonesia sendiri bersama Malaysia menjadi
negara pemasok kebutuhan karet terbesar di dunia.
Karena beberapa keterbatasan tersebut, manusia mengganti
penggunaan karet alam dengan polimer sintetik seperti poliisoprena (polimer
dari isoprena; 2-metil-1,3-butadiena), suatu zat yang memiliki sifat seperti
karet alam namun bahan ini tidak dipanen dari kebun karet. Selain itu masih ada
contoh karet sintetik yang dewasa ini banyak dimanfaatkan seperti neoprena
(polimer dari kloroprena) yang digunakan untuk insulator kawat dan kabel,
butadiena stirena (kopolimer dari 1,3-butadiena (75%) dan sirena (25%)) yang
banyak digunakan oleh industri ban kendaraan bermotor.
Contoh lain dari polimer alam yang mulai diganti
penggunaannya adalah serat untuk keperluan tekstil. Serat seperti kapas, wol,
dan sutera meskipun sampai sekarang masih digunakan sebagai bahan baku dalam
industri tekstil, tetapi karena keterbatasan ketersediaan dan memiliki
kelemahan dalam hal ketahanan terhadap regangan dan kerutan serta serangan
ngengat (sejenis serangga), mulai digantikan oleh polimer sintetik seperti
poliakrilonitril (Orlon, Acrilan, Creslan), poliester (dacron), dan poliamida
(nylon). Selain itu untuk lebih memuaskan selera, manusia juga telah
mengembangkan polimer sintetik untuk industri tekstil yang terbuat dari bahan
yang tahan api seperti tris [tris (2,3-dibromopropil)] fosfat.
Polimer sintetik lain yang perkembangannya sangat pesat
adalah plastik. Kemudahan dan keistimewaan plastik sedikit banyak telah dapat
menggantikan bahan-bahan seperti logam dan kayu dalam membantu kehidupan
manusia.
Sejak ditemukan oleh seorang peneliti dari Amerika Serikat
pada tahun 1968 yang bernama John Wesley Hyatt, plastik menjadi primadona bagi
dunia industri. Produksinya di seluruh negara lebih dari 100 juta ton per
tahunnya.
Contoh plastik yang banyak digunakan dalam kehidupan kita
adalah polietilena (bahan pembungkus, kantong plastik, mainan anak, botol),
teflon (pengganti logam, pelapis alat-alat masak), polivinilklorida (untuk
pipa, alat rumah tangga, cat, piringan hitam), polistirena (bahan insulator
listrik, pembungkus makanan, styrofoam, mainan anak), dan lain-lain.
Perkembangan yang sangat pesat dari industri polimer sintetik
membuat kehidupan kita selalu dimanjakan oleh kepraktisan dan kenyamanan dari
produk yang mereka hasilkan. Bahkan plastik dianggap sebagai salah satu ciri
kemunculan zaman modern yang ditandai dengan kehidupan yang serba praktis dan
nyaman. Namun, beberapa laporan ini menguak sisi lain dari kemudahan yang
diberikan oleh bahan-bahan yang terbuat dari polimer sintetis.
Kebanyakan plastik seperti PVC, agar tidak bersifat kaku dan
rapuh ditambahkan dengan suatu bahan pelembut (plasticizers). Bahan pelembut
ini kebanyakannya terdiri atas kumpulan ftalat (ester turunan dari asam
ftalat). Beberapa contoh pelembut adalah epoxidized soybean oil (ESBO),
di(2-ethylhexyl)adipate (DEHA), dan bifenil poliklorin (PCB) yang digunakan
dalam industri pengepakan dan pemrosesan makanan, acetyl tributyl citrate
(ATBC) dan di(-2ethylhexyl) phthalate (DEHP) yang digunakan dalam industri
pengepakan film (Sheftel, 2000).
Namun, penggunaan bahan pelembut ini yang justru dapat
menimbulkan masalah kesehatan. Sebagai contoh, penggunaan bahan pelembut
seperti PCB sekarang sudah dilarang pemakaiannya karena dapat menimbulkan
kematian jaringan dan kanker pada manusia (karsinogenik). Di Jepang, keracunan
PCB menimbulkan penyakit yang dikenal sebagai yusho. Tanda dan gejala dari
keracunan ini berupa pigmentasi pada kulit dan benjolan-benjolan, gangguan pada
perut, serta tangan dan kaki lemas. Sedangkan pada wanita hamil, mengakibatkan
kematian bayi dalam kandungan serta bayi lahir cacat.
Contoh lain bahan pelembut yang dapat menimbulkan masalah
adalah DEHA. Berdasarkan penelitian di Amerika Serikat, plastik PVC yang
menggunakan bahan pelembut DEHA dapat mengkontaminasi makanan dengan
mengeluarkan bahan pelembut ini ke dalam makanan. Data di AS pada tahun 1998
menunjukkan bahwa DEHA dengan konsentrasi tinggi (300 kali lebih tinggi dari
batas maksimal DEHA yang ditetapkan oleh FDA/ badan pengawas obat makanan AS)
terdapat pada keju yang dibungkus dengan plastik PVC (Awang MR, 1999).
DEHA mempunyai aktivitas mirip dengan hormon estrogen (hormon
kewanitaan pada manusia). Berdasarkan hasil uji pada hewan, DEHA dapat
merusakkan sistem peranakan dan menghasilkan janin yang cacat, selain
mengakibatkan kanker hati (Awang MR, 1999). Meskipun dampak DEHA pada manusia
belum diketahui secara pasti, hasil penelitian yang dilakukan pada hewan sudah
sepantasnya membuat kita berhati-hati.
Berkaitan dengan adanya kontaminasi DEHA pada makanan, Badan
Pengawas Obat dan Makanan Eropa telah membatasi ambang batas DEHA yang masih
aman bila terkonsumsi, yaitu 18 bpj (bagian per sejuta). Lebih dari itu
dianggap berbahaya untuk dikonsumsi.
Untuk menghindari bahaya yang mungkin terjadi jika setiap
hari kita terkontaminasi oleh DEHA, maka sebaiknya kita mencari alternatif
pembungkus makanan lain yang tidak mengandung bahan pelembut, seperti plastik
yang terbuat dari polietilena atau bahan alami (daun pisang misalnya).
Bahaya lain yang dapat mengancam kesehatan kita adalah jika kita
membakar bahan yang terbuat dari plastik. Seperti kita ketahui, plastik
memiliki tekstur yang kuat dan tidak mudah terdegradasi oleh mikroorganisme
tanah. Oleh karena itu seringkali kita membakarnya untuk menghindari pencemaran
terhadap tanah dan air di lingkungan kita (Plastik dari sektor pertanian saja,
di dunia setiap tahun mencapai 100 juta ton. Jika sampah plastik ini
dibentangkan, maka dapat membungkus bumi sampai sepuluh kali lipat). Namun
pembakaran plastik ini justru dapat mendatangkan masalah tersendiri bagi kita.
Plastik yang dibakar akan mengeluarkan asap toksik yang apabila dihirup dapat
menyebabkan sperma menjadi tidak subur dan terjadi gangguan kesuburan.
Pembakaran PVC akan mengeluarkan DEHA yang dapat mengganggu keseimbangan hormon
estrogen manusia. Selain itu juga dapat mengakibatkan kerusakan kromosom dan
menyebabkan bayi-bayi lahir dalam kondisi cacat.
Pekerja-pekerja wanita dalam industri getah, plastik dan
tekstil seringkali mengalami kejadian bayi mati dalam kandungan dan ukuran bayi
yang kecil. Kajian terhadap 2,096 orang ibu dan 3,170 orang bapak di Malaysia
pada tahun 2002 menunjukkan bahwa 80% wanita menghadapi bahaya kematian anak
dalam kandungan jika bekerja di industri getah dan plastik dan 90% wanita yang
suaminya bekerja di industri pewarna tekstil, plastik dan formaldehida.
Satu lagi yang perlu diwaspadai dari penggunaan plastik dalam
industri makanan adalah kontaminasi zat warna plastik dalam makanan. Sebagai
contoh adalah penggunaan kantong plastik hitam (kresek) untuk membungkus
makanan seperti gorengan dan lain-lain. Menurut Made Arcana, ahli kimia dari
Institut Teknologi Bandung yang dikutip Gatra edisi Juli 2003, zat pewarna
hitam ini kalau terkena panas (misalnya berasal dari gorengan), bisa terurai,
terdegradasi menjadi bentuk radikal. Zat racun itu bisa bereaksi dengan cepat,
seperti oksigen dan makanan. Kalaupun tak beracun, senyawa tadi bisa berubah
jadi racun bila terkena panas. Bentuk radikal ini karena memiliki satu elektron
tak berpasangan menjadi sangat reaktif dan tidak stabil sehingga dapat
berbahaya bagi kesehatan terutama dapat menyebabkan sel tubuh berkembang tidak
terkontrol seperti pada penyakit kanker. Namun, apakah munculnya kanker ini
disebabkan plastik itu atau karena mengkonsumsi makanan tercemar kantong
plastik beracun, harus dibuktikan. Sebab, banyak faktor yang menentukan
terjadinya kanker, misalnya kekerapan orang mengonsumsi makanan yang tercemar,
sistem kekebalan, faktor genetik, kualitas plastik, dan makanan. Bila
terakumulasi, bisa menimbulkan kanker.
Styrofoam yang sering digunakan orang untuk membungkus
makanan atau untuk kebutuhan lain juga dapat menimbulkan masalah. Menurut Prof
Dr Hj Aisjah Girindra, ahli biokimia Departemen Biokimia FMIPA-IPB, hasil
survei di AS pada tahun 1986 menunjukkan bahwa 100% jaringan lemak orang
Amerika mengandung styrene yang berasal dari styrofoam. Penelitian dua tahun
kemudian menyebutkan kandungan styrene sudah mencapai ambang batas yang bisa
memunculkan gejala gangguan saraf.
Lebih mengkhawatirkan lagi bahwa pada penelitian di New
Jersey ditemukan 75% ASI (air susu ibu) terkontaminasi styrene. Hal ini terjadi
akibat si ibu menggunakan wadah styrofoam saat mengonsumsi makanan. Penelitian
yang sama juga menyebutkan bahwa styrene bisa bermigrasi ke janin melalui
plasenta pada ibu-ibu yang sedang mengandung. Terpapar dalam jangka panjang,
tentu akan menyebabkan penumpukan styrene dalam tubuh. Akibatnya bisa muncul
gejala saraf, seperti kelelahan, gelisah, sulit tidur, dan anemia.
Selain menyebabkan kanker, sistem reproduksi seseorang bisa
terganggu. Berdasarkan hasil penelitian, styrofoam bisa menyebabkan kemandulan
atau menurunkan kesuburan. Anak yang terbiasa mengonsumsi styrene juga bisa
kehilangan kreativitas dan pasif.
Mainan anak yang terbuat dari plastik yang diberi zat
tambahan ftalat agar mainan menjadi lentur juga dapat menimbulkan masalah.
Hasil penelitian ilmiah yang dilakukan para pakar kesehatan di Uni Eropa
menyebutkan bahwa bahan kimia ftalat banyak menyebabkan infeksi hati dan
ginjal. Oleh karena itu Komisi Eropa melarang penggunaan ftalat untuk bahan
pembuatan mainan anak.
Ancaman kesehatan yang terakhir (sebenarnya masih cukup
banyak contoh lainnya) datang dari kegiatan yang sering tidak sadar kita
lakukan (atau mungkin karena ketidaktahuan kita). Seperti yang lazim kita
lakukan apabila kita hendak memakan suatu makanan yang panas (misalnya
gorengan) atau mencegah tangan terkotori oleh minyak dari gorengan tersebut,
maka kita melapisi makanan tersebut dengan kertas tisu. Padahal hal tersebut
sebenarnya dapat mengancam kesehatan kita. Kenapa bisa begitu?
Ternyata, zat kimia yang terkandung dalam kertas tisu yang
kita gunakan dapat bermigrasi ke makanan yang kita lapisi. Zat ini biasanya
sering disebut pemutih klor yang memang ditambahkan dalam pembuatan kertas tisu
agar terlihat lebih putih bersih. Zat ini bersifat karsinogenik (dapat
menyebabkan kanker). Oleh karena itu jangan menggunakan bahan ini untuk
melapisi makanan yang panas atau berlemak.
Sumber: