Rabu, 16 Oktober 2013

Tulisan 5_Bahasa Indonesia 2


Kenaikan Tarif Tol Tidak Transparan
SPM Harus Diaudit

Jumat, 11/10/2013
Jakarta – Keputusan pemerintah menaikkan 13 ruas tarif tol, menjadi gambaran jelas sikap pemerintah yang tidak peka terhadap kondisi ekonomi rakyat yang sedang susah dan daya beli yang lemah. Meskipun pemerintah mempunyai alibi, jika kenaikan tarif tol telah memenuhi Standar Pelayanan Minimal (SPM).

Menurut pengurus harian YLKI, Tulus Abadi, seharusnya hasil SPM jalan tol diaudit dan hasilnya diumumkan ke masyarakat. Alasannya, masyarakat sebagai pengguna jalan tol harus mengetahui bagaimana SPM ruas tol sehingga dapat menilai layak tidaknya tarif tol dinaikan, “Selain harus diumumkan, indikator SPM dalam penilaiannya juga harus dinaikan setiap tahunnya. Jika tidak dinaikan buat apa? Misalnya tahun lalu SPM score nya 5 tahun ini jadi 10,”kata dia kepada Neraca di Jakarta, Kamis (10/10).

Meskipun begitu, dia menilai untuk tarif tol dalam kota seharusnya tidak mengalami kenaikan justru diturunkan, karena jumlah mobil yang cukup tinggi dan menyebabkan kemacetan di jalan tol. “Jika dinaikan buat apa kita membayar tarif yang lebih mahal untuk kemacetan? Saat ini volume mobil lebih tinggi dan jalan tol dalam kota seperti itu saja”, ujar dia.

Sehingga dia menyimpulkan, perlu dikaji lagi apakah tarif tol, khususnya dalam kota perlu dinaikan. Karena jika melihat kondisi kemacetan di tol dalam kota setiap harinya, justru lebih pantas diturunkan. Selain itu, kenaikan tarif tol ini juga akan berdampak terhadap kenaikan tarif distribusi dan lain-lain.“Kenaikan tarif tol akan merambat ke kenaikan harga-harga pangan karena distribusinya naik. Sehingga dampaknya akan membuat inflasi lebih tinggi lagi akibat harga-harga kebutuhan pokok yang lagi-lagi mengalami kenaikan”, jelas dia.

Hal senada juga disampaikan pengamat transportasi dari Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Danang Parikesit, sebelum menaikkan tarif tol, pemerintah memperhatikan apakah pengguna sudah dapat pelayanan. “Sebenarnya lebih ke fairness ya atau kepedulian terhadap pengguna apakah mereka sudah mendapatkan pelayanan prima,” kata Danang.

Selain itu, dia juga mengatakan, terkait tim penilai seharusnya dari lembaga independen. “Seharusnya penilai itu dilakukan oleh lembaga yang independen jangan dari pemerintahan, jika dari pemerintahan nantinya dikhawatirkan akan timbul keragu-raguan,”ujarnya.

Menurut Danang, sebelumnya MTI juga pernah memberikan saran kepada Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT) untuk melakukan peninjauan kembali. Pasalnya, ada beberapa komponen pelayanan yang cukup sulit jika diawasi oleh operator,”Sebut saja soal kecepatan itu harus sekian persen dari kecepatan di jalan biasa dan ini kan tidak bisa diatur begitu saja,” tambah dia.

Memang, tambah Danang, jika dari sisi pemerintah, ini memang sudah menjadi keputusan yang sudah diturunkan. Hanya saja, masih banyak revisi peraturan terkait pelayanan yang harus segera dibenahi.

Bagi anggota Komisi V DPR RI Rendy Lamadjido, dengan kenaikan tarif tol ini maka pemerintah diibaratkan sebagai pengusaha dan tidak berpihak kepada masyarakat luas. Tarif tol seharusnya berdasarkan kemampuan masyarakat dalam membayar tarif tol ini.“ Sebelumnya Bahan Bakar Bersubsidi (BBM) sudah mengalami kenaikan, dollar pun ikut naik, sekarang malah tarif tol juga naik. Jangalah membebankan atau memberatkan masyarakat atas kenaikan ini,”tandasnya.

Kata Rendy, dengan adanya Undang-undang (UU) yang mengharuskan dalam dua tahun, tarif tol mengalami kenaikan dan hal ini menjadi alibi pemerintah untuk menaikkan tarif tol ini, tanpa memperhitungkan kemampuan dan dampak bagi masyarakat. Oleh karena itu, UU ini haruslah direvisi oleh pemerintah, namun apakah adanya kemauan dari pemerintah untuk merevisi UU ini.“Saya meragukan apakah pemerintah ingin merubah atau merevisi UU ini dikarenakan pemerintah ingin sekali menaikkan tarif tol ini dalam periode dua tahun sekali,” ujar Rendy.

Rendy mengungkapkan atas kenaikan tarif tol ini maka pihaknya akan memanggil kementerian terkait yaitu kementerian PU untuk meminta penjelasan atas kenaikan ini. Pemerintah harus menjelaskan kepada masyarakat atas kenaikan tarif tol ini sehingga adanya keterbukaan informasi.

Atas kenaikan tarif tol ini, lanjut Rendy, pemrintah perlu mengawasi secara ketat pelayanan sehingga semua operator dapat terapcu untuk memenuhi Standar Pelayanan Minimal (SPM). Masyarakat penguna tol tidak akan keberatan apabila pemerintah melakukan pelayanan yang terbaik semisalnya jalannya yang mulus, rambu-rambu lalu lintas sesuai dan bisa mengurangi kemacetan di jalan tol.“Kenaikan tol ini harus diiringi atas peningkatan mutu pelayanan sehingga tidak ada masyarakat yang mengeluhkan atas fasilitas dan pelayanan jalan tol,”jelas dia.

Sebagai informasi, Kementerian Pekerjaan Umum telah memberlakukan penyesuaian tarif bagi 13 ruas tol mulai Jumat (11/10). Penyesuaian berlaku setelah seluruh ruas tersebut dinilai telah memenuhi Standar Pelayanan Minimal.

Ruas tol yang mengalami penyesuaian yaitu ruas Jakarta-Bogor-Ciawi, Jakarta-Tangerang, Surabaya-Gempol, Padalarang-Cileunyi, Belawan-Medan-Tanjung Morawa, Semarang Seksi A, B, C, Pondok Aren-Bintaro Viaduct-Ulujami.

Selain itu, ruas tol lainnya yang juga mengalami kenaikan tarif yaitu, Palimanan-Kanci, Lingkar Luar Jakarta, Cikampek-Purwakarta-Padalarang, Tangerang-Merak, Pondok Aren-Serpong serta Ujung Pandang Seksi I dan II. (nurul, mohar, slyke)

Sumber:

Opini:
Menurut saya perlu dilakukan pengkajian ulang dalam menaikkan tarif tol, dikaji menurut standar pelayanan minimal yaitu kenyamanan pengguna jalan tol, kemacetan jalan tol, fasilitas jalan tol. Jika hal diatas tidak dikaji lagi maka akan memberatkan masyarakat pengguna jalan tol.
Seharusnya pula standar pelayanan minimal diaudit agar transparan dilihat masyarakat.

Tulisan 4_Bahasa Indonesia 2


BI Rate 7,25%, Bunga Kredit Capai 2 Digit

JAKARTA - Demi menyelamatkan nilai tukar Rupiah dari tekanan dolar Amerika Serikat (AS) Bank Indonesia (BI) telah menaikkan suku bunga acuannya di kisaran 7,25 persen. Namun, kebijakan tersebut seperti pedang bermata dua.

Ketua Umum Ikatan Pengusaha Wanita Indonesia (Iwapi), Nita Yudi, menyampaikan, kebijakan BI untuk menaikkan BI rate bukan pilihan terbaik untuk menekan inflasi. Sebaliknya, dampak dari kebijakan tersebut justru menyakiti para pengusaha kecil-menengah yang menjadi nafas perekonomian Indonesia.

"Kalau BI rate dinaikkan maka kredit juga akan naik. Lalu, siapa yang mau jadi pengusaha kalau bunganya tinggi?"  kata dia kepada Okezone, Selasa (15/10/2013).

Menurutnya, saat ini para pengusaha tersebut kesulitan untuk mengajukan kredit. Hal ini lantaran bunga kredit tersebut, terlalu tinggi dan tidak sesuai dengan returnya.

"Sekarang saja bunganya masih dua digit, ini harus turun jadi satu digit. Di China, suku bunga kreditnya hanya mencapai 5 persen. Kita tidak usah 5 persen lah, 7 persen saja syukur," tukas dia

Sekadar informasi, Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI kembali menaikkan tingkat suku bunga acuan BI alias BI rate sebesar 25 basis poin (bps) pada September. Dengan demikian, maka BI rate sudah berada di kisaran 7,25 persen. ()

Sumber:

Opini:
Menurut saya ketika BI Rate naik, suku bunga bank akan naik dan akan ada peralihan dana dari pasar modal ke perbankan. Perusahaan-perusahaan debitur akan merasa beban semakin berat, laba juga bisa ikut menurun.
Faktanya, di satu sisi uang yang masuk ke bank meningkat akibat ketertarikan nasabah akan bunga yang tinggi, tetapi di sisi lain bank akan sulit menyalurkan dana tersebut. Akan ada penurunan permintaan. Fungsi penyaluran kredit menjadi kurang berjalan (terhambat). Padahal kalau dilihat fungsi bank itu menyalurkan kredit dari dana yang ditempatkan di bank tersebut.

Senin, 07 Oktober 2013

Tulisan 3_Bahasa Indonesia 2

Listrik Naik, Listrik Padam

Tarif Dasar Listrik, mulai 1 Oktober 2013, naik 3,5 persen. Kenaikan ini merupakan bagian dari penaikan TDL 15 persen yang sudah ditetapkan untuk tahun ini. Kenaikan TDL dilakukan di tengah pemadaman bergilir yang sudah berbulan-bulan dialami masyarakat di Sumatra dan telah membuat masyarakat di sana kehilangan kesabaran.

Berbicara tentang ketersediaan listrik memang kita pantas prihatin. Daya listrik yang tersedia bukan hanya buruk kualitasnya, tetapi jauh di bawah kebutuhan yang diperlukan. Pilihan energi yang dipergunakan pun sama sekali tidak memerhatikan nilai keekonomisan, sehingga membebani subsidi yang harus dibayar dari pajak rakyat.

Bayangkan, sekitar 80 persen pembangkit listrik yang kita miliki berbahan bakar solar. Untuk mengatasi kekurangan daya listrik di Sumatra, Perusahaan Listrik Negara lagi-lagi memilih untuk menyewa diesel. Padahal, biaya per KiloWattHour mencapai 45 sen dollar AS atau sekitar Rp4.500.

Setiap tahun kita harus menyediakan subsidi untuk listrik lebih dari Rp100 triliun. Sejak 2009 ada kenaikan subsidi listrik sampai Rp60 triliun dan kita tidak menganggapnya sebagai masalah besar. Sudah begitu besarnya subsidi yang harus kita keluarkan, kualitasnya pun buruk.

Padahal dengan besaran subsidi seperti itu, kita bisa membangun satu pembangkit yang baru dengan kapasitas 1.000 MW. Anehnya kita tidak kunjung membangun pembangkit listrik dengan sumber energi lain yang melimpah di negeri ini.

Proyek pembangunan pembangkit listrik 10.000 MW yang digagas Wakil Presiden Jusuf Kalla di tahun 2008 sampai saat ini baru selesai 60 persen. Banyak proyek yang terhambat karena urusan perizinan atau lahan, yang seharusnya bisa diselesaikan oleh pemerintah.

Kita tidak melihat ada upaya yang sungguh-sungguh untuk menyelesaikannya. Padahal setiap tiga tahun kita harus membangun pembangkit listrik yang baru karena permintaan yang terus bertambah dan juga menurunnya kemampuan pembangkit listrik yang sudah lebih dulu ada.

Sumber energi yang bisa dipergunakan untuk pembangkitan listrik sebenarnya cukup banyak. Kita memiliki batu bara, gas, panas bumi, air, dan sinar matahari. Biaya produksi listrik dengan menggunakan panas bumi, air, gas, dan batu bara jauh lebih murah daripada solar. Biayanya bisa berkisar antara 9 sen hingga 15 sen dollar AS saja atau antara Rp 900 hingga Rp 1.500 per kWh.

Tidak berlebihan apabila kita mempertanyakan motif di balik pembiaran dari pembangkitan listrik berbiaya tinggi seperti sekarang ini. Jelas ada pihak-pihak yang bermain dengan subsidi listrik yang harus kita keluarkan dan mereka mendapatkan keuntungan dari itu.

Hasil temuan Badan Pemeriksa Keuangan menunjukkan ada beberapa badan usaha milik negara yang sengaja menggelembungkan subsidi yang dibayarkan negara. Salah satunya adalah PLN yang penggelembungannya lebih dari Rp 6 triliun setiap tahun.

Kita tentu tidak bisa membiarkan negara ini terus dibebani oleh biaya-biaya yang tidak efisien. Pada akhirnya ketidakefisienan tersebut harus ditanggung oleh rakyat. Kenaikan harga TDL yang harus dibayar masyarakat sekarang ini, sebagian akibat dari ketidakefisienan dalam memproduksi daya listrik.

Negara ini tidak akan bisa beranjak maju apabila terus dibiarkan menanggung ketidakefisienan. Kita membutuhkan cara pandang yang lebih komprehensif untuk memanfaatkan sumber energi yang kita miliki untuk kesejahteraan seluruh rakyat.

Seperti halnya negara-negara lain, mereka begitu hemat dalam menggunakan energi yang dimiliki. Demi keberlanjutan pembangunan dari bangsanya, sumber energi yang mereka miliki tidak dihambur-hamburkan untuk diekspor, tetapi lebih diprioritaskan untuk kepentingan dalam negeri.

Pada era Orde Baru, ketika industri manufaktur kita belum berkembang, wajar apabila sumber daya alam dijadikan sumber devisa negara. Tetapi sekarang ketika sumbangan minyak dan gas terhadap ekspor hanya tersisa 25 persen saja, lebih baik sumber energi itu kita manfaatkan sepenuhnya untuk kepentingan dalam negeri.

Apalagi kenyataannya impor minyak kita begitu besarnya. Setiap hari ada sekitar 750.000 barel minyak yang harus kita datangkan untuk kilang-kilang minyak kita. Besarnya impor minyak itulah yang menyebabkan defisit transaksi berjalan mengangga lebar dan akibatnya nilai tukar rupiah tertekan begitu dalam.

Ironisnya sebagian dari impor minyak itu kita pakai untuk menghidupkan pembangkit listrik kita. Sebaliknya kita menjual murah gas-gas yang ada ke negara lain dan gas itu dipergunakan oleh mereka untuk menghidupkan pembangkit listrik di negaranya. Akibatnya, kita yang sebenarnya memiliki sumber energi harus menanggung biaya listrik yang mahal, sementara negara lain yang tidak memiliki sumber energi, bisa mendapatkan harga listrik yang murah.

Sungguh tidak adil karena ketidakcerdasan kita dalam memproduksi listrik harus ditanggung bebannya oleh rakyat. Hanya karena alasan subsidi yang membengkak TDL dinaikkan, padahal subsidi yang besar itu disebabkan oleh bauran energi yang tidak kita jalankan.

Lebih sedih lagi masih banyak warga bangsa ini yang belum menikmati listrik. Atau kalau pun ada harus mengalami pemadaman bergilir seperti di Sumatera. Padahal seperti dikatakan Jusuf Kalla, listrik adalah induk dari industri dan kehidupan.

sumber: 

http://www.metrotvnews.com/front/view/2013/10/02/1657/Listrik-Naik-Listrik-Padam/tajuk



Opini:

Menurut saya peningkatan tarif listrik tidak dibarengi oleh naiknya kualitas sehingga masih ada pemadaman bergilir. Faktor kedua lainnya tarif listrik naik naik karena negara kita sudah defisit anggaran minyak, dikarenakan besarnya impor jauh lebih besar dibandingkan besarnya ekspor yang dilakukan.

Tetapi lebih baik pemerintah menyediakan dana untuk membuat sumber alternatif lain yang menghasilkan listrik. Jadi masyarakat tidak hanya mengandalkan listrik untuk kebutuhan mereka sehari-hari. Kalaupun tidak menyediakan alternatif sumber daya lain, yaitu dengan penggunaan minyak untuk negeri kita sendiri agar lebih murah.

 

 

Minggu, 06 Oktober 2013

Tulisan 2_Bahasa Indonesia 2

 TDL NAIK LAGI




JAKARTA — Direktur Utama PT PLN (Persero) Nur Pamudji mengakui pihaknya kembali menaikkan tarif daya listrik (TTL) resmi berlaku mulai hari ini (Senin, 1/7). PLN mulai menghitung pemakaian listrik pelanggan dengan menggunakan tarif baru.
“Iya betul, tarif listrik naik mulai 1 Juli 2013. Pemerintah sudah putuskan naik bertahap empat kali dalam tahun ini,” jelas Nur Pamudji, Senin (1/7).
Menurutnya, penerapan tarif baru ini sesuai dengan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) No.30/2012 yang baru diteken Menteri ESDM Jero Wacik. Kenaikan mulai 1 Juli ini merupakan penyesuaian harga ketiga pada tahun ini.
Pemerintah sebelumnya telah dua kali menaikkan tarif listrik pada 1 Januari 2013 dan 1 April 2013 untuk hampir setiap golongan pelanggan listrik PLN.
Sekedar informasi, pemerintah telah memutuskan kenaikan tarif listrik pada tahun ini sebanyak empat kali dengan jadwal yakni tahap I: 1 Januari 2013-31 Maret 2013, tahap II: 1 April 2013-30 Juni 2013, tahap III: 1 Juli 2013-30 September 2013. Dan tahap IV: 1 Oktober 2013.
Terpisah, Direktur Perencanaan dan Pembinaan Afiliasi PLN, Murtaqi Syamsuddin menyatakan, penyesuaian tarif listrik merupakan wewenang pemerintah dan diatur dalam Permen ESDM Nomor 30/2012 itu.
Editor — Fenty Wardhany
http://www.harianterbit.com/2013/07/01/tdl-naik-lagi-hari-ini/
 
Opini:
Menurut saya, apabila tarif dasar listrik naik lagi akan menimbulkan banyak keresahan dalam masyarakat. Karena kebanyakan masyarakat sudah ketergantungan listrik. Apalagi masyarakat yang menggeluti bidang industri menengah kebawah ini akan memberatkan mereka, belum lagi bahan baku yang memang sudah mahal. Karena tarif dasar listrik yang sudah naik hingga tahap IV ini keuntungan industri menengah kebawah semakin menegecil. Begitupun untuk masyarakat menengah kebawah. 
Sebaiknya PLN mengkaji ulang bahwa mengurangi impor minyak, tetapi sebaiknya mengolah minyak sendiri agar lebih murah dan tidak mengekspor minyak ke negara luar. 

Tulisan 1_Bahasa Indonesia 2

Ini 4 Pangan Pokok Yang Masih Diimpor RI

Dewi Rachmat Kusuma - detikfinance
Minggu, 06/10/2013 10:00

Jakarta - Meskipun tercatat sebagai negara agraris, nyatanya Indonesia masih ketergantungan bahan-bahan makanan pokok mulai dari beras, jagung, biji gandum dan meslin, tepung terigu dan gula pasir.

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) dikutip detikFinance, Minggu (6/10/2013), Pada Agustus saja, Indonesia mengimpor jagung dari India, Argentina, Brazil, Thailand, dan Paraguay sedikitnya 182.696 ton atau senilai US$ 53,74 juta. Jika diakumulasikan dari Januari-Agustus impor jagung Indonesia mencapai 1.804.509 ton atau senilai US$ 544,19 juta.

BPS juga mencatat impor biji gandum dan meslin dari Australia, Kanada, India, Amerika Serikat, dan Singapura. Agustus saja, jumlah impornya mencapai 540.997 ton atau senilai US$ 190,94 juta. Secara akumulasi, jumlah impor biji gandum & meslin Indonesia dari negara-negara tersebut mencapai 4.431.244 ton atau senilai US$ 1,66 miliar.

Sementara untuk tepung terigu, BPS mencatat selama Agustus Indonesia mengimpor 11.452 ton atau senilai US$ 4,35 juta. Impor tersebut berasal dari negara-negara seperti Srilanka, India, Turki, Ukraina, dan Jepang. Secara akumulasi dari Januari-Agustus tahun ini, impor tepung terigu Indonesia mencapai 104.207 ton atau senilai US$ 45,25 juta.

Indonesia juga banyak impor gula pasir dari Thailand, Malaysia, Australia, Korea Selatan, dan Selandia Baru sebanyak 1.140 ton atau US$ 685.000 selama Agustus. Jika diakumulasikan, Indonesia telah mengimpor gula pasir sedikitnya 52.455 ton atau senilai US$ 31,11 juta.



Opini
”Indonesia secara geografis memang negara agraris, namun sektor pertanian bukan merupakan sektor prioritas pembangunan di Indonesia sejak Pelita 4, era pemerintahan Soeharto,” ujar Suyanto SE Mec Dev PhD, Dekan Fakultas Bisnis dan Eknonomika (FBE). Itulah mengapa Indonesia masih harus mengimpor bahan pangan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.

Menurut saya produk impor lebih diminati masyarakat karena daya saing harga produk impor lebih murah dibanding harga produk lokal, maka dari itu masyarakat lebih memilih produk impor. Kualitas produk impor juga baik, namun tidak berarti kualitas produk lokal tidak baik. Dapat dikatakan kualitas produk lokal lebih baik daripada produk impor. Namun, untuk distribusi produk lokal banyak mengalami kendala dalam hal transportasi, lebih banyak mengeluarkan biaya dan kurangnya efisien peralatan pabrik sehingga harga produk lokal lebih mahal dibandingkan produk impor. 
Sebaiknya pemerintah melindungi produsen dalam negeri, pemerintah juga sebaiknya membatasi atau memberi kuota terhadap masuknya produk impor ke Indonesia. Namun pada dasarnya perusahaan yang ada dalam negeri sendiri juga tidak bisa hanya mengandalkan perlindungan produk dari pemerintah. 

“Perlindungan produsen dalam negeri hanya perlu dilakukan dalam jangka waktu tertentu dan tentunya pemerintah juga harus mempersiapkan mereka untuk dapat bersaing,“ tutup Suyanto. (voz/wu)

Post-post